Monday, December 27, 2021

Dua Puluh Tujuh dan Seonggok Kalkun Beku yang Disatukan dengan Sepiring Puding


Ada fakta menarik tentang komidi putar. Pertama, kebanyakan orang mengejanya dengan ‘komedi’, kemudian membanyol ngasal mempertanyakan di mana letak lucunya. Kedua, meski repetitif dan membosankan, komidi putar dapat membongkar paksa bola-bola memori inti masa kecilmu dari brankas kokoh yang kau kunci rapat. Ia rentan membuatmu yang kini dewasa jadi berbunga-bunga seperti anak remaja.

Selama berputar, memikirkan hal-hal menyenangkan adalah opsi yang dianjurkan. Mulai dari rencana liburan musim semi ke Jepang atau Korea Selatan, hingga mengingat keberhasilan pertama menerapkan rumus dua puluh dua per tujuh dikali jari-jari kuadrat di atas kertas cacah gori.

Panas dan dahaga tak lagi kau pikirkan. Kamu dibantu semilir angin lengket Jakarta Utara yang mencuri masuk lewat sela-sela lubang ketiak kaosmu, atau sebotol Pristine dalam tas hitam kecilmu yang baru setengah diminum. Dunia Fantasi punya beragam aksi, dan mereka berkongsi untuk menghibur siapa saja yang membayar.

Seperti bayi yang latihan berjalan di kamar mandi, kita sangat berhati-hati waktu menapaki bulan Desember yang asing tak terprediksi. Untukku, November yang penuh aral dan jam-jam begadang yang brutal terlalu melelahkan untuk dialami kembali. Namun ternyata, Desember juga tak pelit dalam bikin kecut hati.

Petir menyambar sore yang hambar dengan sebuah kabar, tanpa berpesan dulu supaya lihat sekitar. Kali ini, komidi lebih cocok jadi komedi. Sebuah sandiwara terjadi di depan pasang matamu yang dihiasi alis tebal melengkung — diidamkan mereka yang gemar bersolek atau bermain-main dengan pensil alis. Kamu tersipu malu-malu. Senyum lebar melukiskan hangatnya suasana batinmu.

Lain sisi lain seberang, aku terkoyak oleh gelisah dan irisan tajam pesan singkatmu. Komedi dari komidi mengakhiri rajutan untuk dua puluh tujuh yang sabar kutelateni. Alih-alih jadi memberimu sarung rajut, aku mendapati Seonggok Kalkun Beku Yang Disatukan Dengan Sepiring Puding. Dan pada tanggal dua puluh tujuh, Seonggok Kalkun Beku Yang Disatukan Dengan Sepiring Puding siap dinikmati.


--2017--

1) Daughter - Landfill

Baunya menyiksa bulu-bulu hidung. Mereka harus bekerja lebih keras menghalau partikel asing pembawa bau busuk mendekati sel-sel okfatori, sang detektor aroma. Panasnya menyengat. Tiada peneduh yang melindungimu dari tusukan matahari selain tangan-tangan eskavator atau pantat truk yang ditinggal supirnya sebat sembari menyeruput seplastik dingin KukuBima rasa anggur.

Namun tidak semua hal buruk ada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA — mirip sama singkatan nama saya, ehe). Mimpi-mimpi baik yang kini tak terpakai, misalnya. Atau janji menyenangkan yang kadung usang, sampai peran utama yang tak lagi diutamakan. Di TPA, kamu bisa menghabiskan hari liburmu dengan asyik: bertanya-tanya seberapa cepat keseharian jadi kenangan, atau seberapa tipis perbedaan wujud penyemangat dan penghambat.


2) Mr. Jukes - When Your Light Goes Out (ft. Lianne La Havas)

Trek Chronic Sunshine milik Cosmo Pyke jadi anthem yang Kamu tampilkan di profil Tinder. Pilihan yang keren untuk seseorang yang memakai gambar llama nyengir sebagai foto profil utama. Padahal kata para ahli spesialis hewan berkuku genap, jangan percaya dengan anggota ordo Artiodactyla yang lagi nyengir. Jerapah, unta, atau sapi, misalnya. Wajah-wajah mereka ramah, lagi pula gemar makan sayur. Namun sesungguhnya, mereka yang sedang tersenyum justru menyimpan dengki dan sebentar-sebentar mulai akrobat buat menyalurkannya.

Kebetulan temanku, yang lebih dikenal sebagai Ayam, sedang di sebelahku. Ia adalah orang yang bertanggungjawab dalam keputusanku memberi hadiah tempat tidur gantung rajut untuk siapapun yang mengundangku ke pesta pernikahan. Nah dengar kabar dari orang-orang yang menggemari ayam dalam grup Facebook Info Mie Ayam Jogja (Ayam pula yang mengundangku bergabung), tangan-tangan ayam punya daya magis untuk membawa keberuntungan meski kadang kotor. Tak heran ceker laku di pasaran.

Aku meminta Ayam mengambil alih sejenak aplikasi perjodohan daring dari tanganku. Saat gambar llama nyengir muncul, ia mengusap profilmu ke kanan. Animasi melang-meling bergelimang bintang memeriahkan layar iPhone SE, menampilkan dua sosok yang dilebur jadi satu. Kita cocok. Oke, aku akan mulai makan ceker.

Beberapa menit, beberapa jam, beberapa malam kemudian. Obrolan santai terbentuk sambil lalu. Aku suka yang Kamu sukai, tapi belum tentu sebaliknya. Sebuah tautan berisi kumpulan video dari akun Youtube milik Mr Jukes Kamu kirimkan ke chat kita. Katamu, Kamu malas memberi rekomendasi lagu ke sembarang orang. Membuatku tersipu.Video-video sengaja diproduksi dengan suci, mereka sedang melakukan sesi rekaman langsung di sebuah studio bernama The Church (meski nggak kayak gereja). Selain sang vokalis adalah Jack Steadman, mantan punggawa Bombay Bicycle Club yang lagi doyan mencari jati diri di Jepang, Kamu secara khusus menandai sang drummer yang katamu mirip Keanu Reeves. Ganteng banget, jeritmu kegirangan tiap kali kamera menyorot si drummer (yang menurutku lebih mirip Paul Rudd).

“Aku suka Somebody New,” aku memberimu kode. Kamu lebih suka Angels/Your Love.

“Tapi kalau lagi patah hati dengerin When Your Light Goes Out, pas banget ndak sih?” tanyamu nyengir.


3) The Black Keys - Turn Blue

Kita, seperti biasa, duduk di ruangan khusus perokok McDonald’s Sudirman. Sekumpulan perjaka tanggung menatap ponsel masing-masing. Semeja turis (atau mahasiswa?) beraksen Jakarta sibuk mencurahkan isi hati yang itu-itu saja. Kamu menatap mereka nanar, satu demi satu, sambil menikmati McNuggets kesukaanmu. Pantat gelas kertas Milo dingin yang Kamu pesan (tentu dengan harga tambahan karena tidak termasuk paket) mulai basah. Aku mengambil tisu dari baki cokelat lalu mengganjal gelas Milo-mu. Air tak lagi menggenang di atas meja metal mengilap khas McDonald's.

Obrolan berlangsung sampai pagi. Malam itu bukan malam minggu. Aku masih pekerja lepas dan Kamu tengah menunggu wisudamu. Tak ada kewajiban yang mengikat kita, selain menghabiskan waktu yang tak kunjung habis. Aku mendebatkan El Camino sebagai terobosan Dan Auerbach yang luar biasa sembari mengoceh tentang album Turn Blue (utamanya, Weigh of Love) yang kusebut proses pendewasaan, “orang berubah, tahu.”

Kamu bodo amat. Meski begitu, jenis musik yang dilabeli keras dan cadas jadi memori yang edukatif buatmu. Ketukan kompleks dalam musik-musik seperti itu membantumu berhitung dalam hati. Sebagai penabuh bass drum dalam grup marching band, peka terhadap ketukan itu penting. Kamu mengenang serangkaian adegan sebelum kompetisi tingkat nasional yang membuat malam-malam saat kuliah makin lambat. Latihan pukul-memukul Kamu lalui sampai para penjaga malam sudah memasuki jadwal baru. Otot-otot di punggungmu menjerit sekaligus mengeras, seperti ada sepasang sayap yang memaksa keluar, menembus lapisan kulit dan daging, mengorak-arik pegal dan linu dari balik bahu.

Matahari pagi menyalak sontak. Ia keluar terkekeh dari timur, tanpa diawali tata krama seperti senyuman atau salam. Para staf McDonald's Sudirman memulai ritual pagi: menyapu dan mengepel. Sesi kita hari itu berakhir. Kamu memilih jatuh cinta pada Obscura, dan aku masih ingin membahas The Black Keys.

“Kamu cocok ngobrol sama adikku,” tutupmu sambil mengunyah es batu dari Milo McDonald’s yang Kamu dewakan.


--2018--

4) OOHYO - Papercut

Laju industri K-pop mengalir sederas laju produksi asam dan saliva dalam mulutmu tiap kali kau memamah permen Xylitol. Kurang lebih itu yang Kamu bahas dalam skripsi (tentang Xylitol) yang bagimu tak penting-penting amat.

"Aku suka musik mereka dari kecil," bangga sekali Kamu saat itu. "Dari zaman &#$*@ yang sekarang udah om-om sampai !@&#% yang nggak sempat terkenal padahal lagunya bagus-bagus. Tapi Taeyeon tetap bias abadiku."

Coba bayangkan raut muka kebingungan seekor landak mini yang tiba-tiba dipungut dari akuarium raksasa di pasar hewan ke dalam kandang besi baru berisi potongan-potongan kayu. Alisnya akan naik sebelah. Bibirnya melongo, padahal saraf di otaknya lagi mengirim komando pada pita suara untuk mulai komat-kamit. Begitupun ekspresiku mengikuti arah pembicaraan.

Mengetahui seberapa tersesat pikiranku, Kamu mengambil iPhone SE yang telanjang di atas meja dan mencolok headset hitam. Kamu memintaku mendengarkan OOHYO.

"Aku suka Perhaps, Maybe tapi nggak ngerti bahasa Korea, padahal judulnya bahasa Inggris," protesku.

Kamu cuma diam, puas melihatku cengar-cengir mendengar suara lembut penyanyi Korea berkacamata bulat, lagu demi lagu. Enak-enak kok, bisikmu.

 "Papercut sakit banget, ya."


5) Michael Kiwanuka - Cold Little Heart (Radio Edit)

Big Little Lies musim pertama selesai kutonton. Kuceritakan padamu pengalaman menyenangkan di dalamnya: skenario adaptasi ciamik dari novel laris Liane Moriarty, tema kesadaraan atas kekerasan seksual (waktu itu gencar-gencarnya #MeToo), adegan menegangkan pesta kostum Elvis Presley, dan para aktor yang berperan apik.

Aku berterima kasih pada Tuhan atas Nicole Kidman dan pertemuan pertamaku dengan Zoë Kravitz, Kamu melimpahkan puja-puji untuk Alexander Skarsgård.

“Kenapa sekeluarga mukanya ajaib semua ya?” pertanyaan yang kalau tak salah dengar, keluar dari mulutmu yang lagi menyonyon sedotan, mengisap sisa-sisa air bekas es batu.

Kamu melanjutkan pencarian lewat Safari di iPhone 7 tua yang kala itu masih waras. Wajah-wajah keluarga Skarsgård Kamu pamerkan satu-persatu. Michael Kiwanuka melantun lagu pembuka Big Little Lies dari iPhone SE-ku yang juga masih waras.

“Apa ini? Enak juga.”

“Dengerinnya yang Radio Edit ya. Versi aslinya kepanjangan.”


6) The Corrs - The Long and Winding Road

Kampusmu sepanas iga bakar di atas hot plate yang barusan ditaruh oleh pelayan bersarung tangan pelindung panas (yang masih merasa kepanasan). Undangan masuk ke ruangan wisuda habis dibagi untuk keluarga besarmu. Aku terpaksa menunggu di bawah tenda panjang yang disediakan untuk para pelaku usaha potret-memotret. Keringat mulai balapan dari atas sampai bawah. Para fotografer yang sedang jaga di pos masing-masing tampak kipas-kipas sambil melihat-lihat jam tangan, saling bertanya kapan selesainya. Siang yang panjang.

Aku bertemu Kamu setelah acara selesai di bawah patung garuda, berfoto sebentar, dan mengucap salam pada sanak saudara yang kau kenalkan satu-persatu.

"Halo, saya Adi."

"Wah sama namanya kayak saya, Om."

Kamu memasuki mobil dengan kebaya dan toga sewaanmu, aku kembali ke parkiran motor dengan sweater abu-abuku.

Sampai lebih dulu tanpa tersesat di tempat perjamuan, aku menunggumu lama hingga menolak tiga kali tawaran menu tempe seharga dua puluh lima ribu. Keluarga besarmu sampai kemudian, kali ini aku tersesat.

Seseorang yang bernama sama duduk di depanku, menyalamiku lagi, "makan dulu, Mas Adi. Kita santai aja. Acara masih panjang."


7) Chicago - If You Leave Me Now

Kewajiban koasistensi membawamu tujuh puluh kilometer ke barat. Dipisahkan Pegunungan Menoreh, Sungai Progo, dan kehidupan baru yang membosankan.

Kesenangan seumur jagung milik kita keburu babak belur dihajar waktu. Cuma sepuluh bulan, tuturmu. Lagi pula, tujuh puluh kilometer tidak sejauh itu.

Siapa sangka, cerita-cerita baru lahir di kota membosankan yang bahkan nggak punya toko buku. Termasuk perkenalan dengan si gendut yang merepotkan. (Hewo. Kamu kangen, tidak?)


8) Weezer - Perfect Situation

Kamarmu berantakan. Kamar tempat Kamu pulang sesaat ke kota kelahiran. Kamar tua ajaib yang bisa menyimpan dingin meski tanpa mesin pendingin, hanya kipas angin murah peninggalan sepupu dan buku-buku tebal yang tersimpan tak beraturan di sebuah kontainer plastik tembus pandang. Bermerk Lion Star, apa lagi?

Motor Supra hitam kuparkir di lorong sebelah, tanpa suara, sesuai arahanmu. Kamu tidur-tiduran memakai daster floral yang didominasi warna hijau, membuat Kamu terlihat seperti lontong di atas tatakan penjaja sate Madura yang baru dibuka ujungnya.

Aku kira Kamu baru saja bangun dari tidur siangmu. Wajahmu agak bau bantal. Ternyata Kamu baru pulang dari bertemu Seorang Teman. Dan janji menemuinya lagi 25 Maret nanti.

Suara huoo-hooo Cuomo pada refrain Perfect Situation masih mengalir lewat headset, menggaung liar dalam helm hitam bawaan Honda yang belum kucopot.

Motor Supra tak lagi di lorong sebelah rumahmu.


9) Menahan Street Band - Glovebox Pistol

Ternyata, jalur lambat Ring Road Barat dan Jalan Wates cukup menyenangkan untuk dilewati kalau sedang jatuh cinta. Hingga kau sampai di gapura bertulis "Selamat Datang di Jawa Tengah", maka perjalanan tak lagi bisa dilalui sambil riang bernyanyi.

Matamu harus terbiasa mengintai lubang jalan yang bersembunyi di balik kelam malam. Mereka suka mengagetkanmu. Syukur-syukur kalau bulan sedang baik hati. Ketika lagi mendung, pasir-pasir gemar terbang liar dari truk pembangunan bandara baru yang dikebut waktu. Pasir-pasir itu berkawan dengan kegelapan untuk menyiksa mata dan ban motormu.

Tapi Kamu, bermodal es kopi susu dari kantin rumah sakit, menyiapkan bantal dan guling dengan sarung yang baru. Cuma buatku.


10) Amy Winehouse - Back to Black

Kita menimbang Masterpiece Karaoke (yang katanya dipunyai Ahmad Dhani tapi ternyata bukan). Lagunya lengkap ada Nogizaka-nya, bujukku. Kau setuju.

Aku sibuk memilih lima lagu beruntun. Egois juga ya. Nyanyian grup idola Jepang hingga boyband 90an habis kubabat. Suara jelek juga tak apa, yang penting tak buta nada. Toh aku yang bayar.

Kamu pasrah saja bermain ponsel, barangkali sedang mencari referensi lagu-lagu asyik. Sadarkah kau tentang adanya jenis lagu yang mantap buat didengar tapi tak seru untuk dinyanyikan? Beruntungnya, Kamu sadar.

Kepercayaan dirimu masih sependek ujung Indomie yang kau remuk lalu kunyah mentah. Hingga akhirnya ujung itu tiba di mulut, Kamu mengetik “Valerie Amy” di layar sentuh karaoke.

Giliranmu tiba. Kamu bersenandung malu-malu dari pojok ruangan. Kepalamu naik-turun seperti ubur-ubur yang kena lampu sorot di film dokumenter. Matamu gelisah memperhatikan lirik di layar enam puluh inci sambil sesekali mengawasi gerak-gerikku (takut aku ilfil, katamu kemudian).

“Suaramu renyah,” pujiku pakai mikrofon. “Kenapa enggak bikin cover kayak mbak-mbak di Soundcloud?”

Kamu masih melanjutkan Valerie sambil menggeleng.

“Coba habis ini Back to Black.”


--2019--

11) Lianne La Havas - Ghost 

Kita berlari cepat-cepat memasuki kereta Prambanan Ekspres dan keluar pelan-pelan sejam kemudian. Solo panas sekali, keluhmu sambil berpeluh. Telapak tanganmu basah, dahimu memerah.

Selepas isya, penyanyi Inggris dengan nama yang sangat tidak Inggris berdendang di atas panggung. Menyihir sekian banyak pasang mata yang tadinya cuma menunggu aksi Ardhito Pramono (Kamu) atau Eva Celia (aku). Keduanya mengecewakan, tapi tidak dengan Lianne. Penonton bersorak-sorai. Penyanyi berambut keriting itu menunduk sejenak, lalu menengadah ke langit malam yang telanjang tanpa bintang sambil mengucap syukur, menimbun salut dari ribuan mulut. Kita menenggak thai tea, mengisap Magnum Mild (aku), sesekali mengunyah sempol (Kamu). Alunan lirik Ghost menghantui pikiran kita.

Kita menghabiskan malam di alun-alun sampai jam dua belas. Berjalan kaki dua kilometer menuju toko es krim yang sudah tutup (Kamu kesal). Slamet Riyadi dipenuhi warung-warung dengan raungan motor plat AD yang mereduksi fungsi telinga (aku kesal). Gedung tua tak berpenghuni menarik perhatianku, mas-mas di pinggir jalan tertarik menyiulimu. 

Dan hantu yang jadi nyata ternyata jauh lebih buruk.


12) Stereophonics - A Minute Longer

Kamu tak selamanya di kota membosankan yang bahkan nggak punya toko buku. Perlahan, Kamu menemukan cara untuk lari darinya, mengirup kebebasan sesaat, atau sekadar membunuh waktu denganku. Bagian terakhir, tentu menguntungkanku. Sehari atau dua hari tak jadi masalah.

Kamu pulang hampir tiap minggu. Bisa jadi temanmu yang mengantarmu (ada yang doyan ngebut, ada pula yang menyetir hati-hati seperti lagi menyisir rambut), atau kita bisa memilih moda transportasi roda dua meski punggung pegal-pegal, atau solusi yang paling sering kita ambil: kereta api. Kamu mulai bersahabat dengan tempat penitipan kendaraan harga per malam. Keberadaan nomor penanda parkir inap selalu Kamu cek di saku parka biru tuamu setiap kita duduk di depan loket sehabis selesai mengantre beli tiket.

Pengeras suara mengumumkan kedatangan kereta Wijayakusuma, Jaka Tingkir, Prambanan Ekspress, atau apa saja yang Kamu tumpangi. Penumpang lain buru-buru menunjukkan identitas dan tiket ke petugas. Kamu berdiri santai, meraih tanganku, menempelkannya ke kepalamu seperti seorang anak (pada umumnya) berpamitan pada ayahnya sebelum masuk sekolah.

Aku pun, mulai akrab dengan kebiasaan baru seperti melambaikan tangan, atau kembali menyusuri sendirian panjangnya jalan setapak ke parkiran bertingkat Stasiun Tugu yang dipenuhi papan iklan Tiket.com. Tapi aku belum terbiasa berhenti bergumam, "boleh nambah satu menit lagi tidak?"


13) MGMT - TSLAMP

Dengar-dengar, terpapar monitor laptop yang terlalu lama menyala bisa membuat bayi yang lembut jadi berkerut. Begitupun Kamu. Sederet tab panjang di Chrome pada laptopku menyita paksa semua yang Kamu punya dariku: waktu, perhatian, kesadaran. Walaupun tak harus terpapar layar yang seharian memancar, Kamu menjelma jadi seorang bayi yang kini berkerut.

Kamu membiasakan diri tanpa nama panggilan khususku menghiasi papan notifikasi teratas ponselmu. Kita jadi lumrah memandangi layar yang berbeda, memulai topik pembicaraan yang tak terintegrasi, saling memagari privasi dengan melempar distraksi. Jarak yang terpapras tak lagi menolong saat pikiran cuma tersambung sepotong-sepotong.

"Bonjour. Je m'appelle Ali. J'habite in Staines," sapaku meniru potongan percakapan Ali G In Da House.

Meski semua bayi selalu merespons orang dewasa saat bicara bahasa asing yang sulit dicerna, tapi Kamu tak pernah menimpaliku tiap melantur. Namun tak apa, menggeneralisasi bayi memang bukan kegiatan yang baik. Kamu adalah bayi berkerut yang melalui perjalanan seratus empat puluh kilometer per hari. Jadi, cita-citamu tak seperti bayi lain: dokter perang di Afrika. Bayi-bayi yang ingin jadi dokter perang di Afrika harus bisa bahasa Prancis, katamu separuh serius.

Berbulan kemudian aku masih terpaku mengetikkan kata-kata promosi palsu, menggerak-gerakkan kursor dari perangkat tikus gigi biru, atau memilih palet warna biar padu. Kamu kini adalah bayi berkerut yang bisa bahasa Prancis — dengan sertifikasi. Es teh manis seharga sembilan ribu menyegarkan dahagaku. Kita pulang dari Sagan.


14) George Harrison - While My Guitar Gently Weeps

Menempati kamar sebelah toa masjid ternyata tidak seburuk itu. Tiap subuh, kita mendengar marbot masjid melantun azan dari pengeras suara internal. Suaranya parau, pengucapannya serampangan. Belakangan kita tahu beliau tak seberuntung kita. Alih-alih berkumandang, ia lebih mirip simbah-simbah ompong yang mengomel tiap harga rokok naik per tahunnya.

Kita terbangun tiap waktu salat subuh. Bukannya beribadah seperti yang dipropagandakan, Kamu memesan sepaket nugget ayam, kentang goreng (ekstra saus sambal), dan Milo dingin dari McDonald's — kebetulan 24 jam. Aku beberapa kali jatuh sakit. Kamu berbagi menu favoritmu, memaksaku makan, minum air putih. Selapis selimut tebal bermotif zebra Kamu sematkan ke punggungku, merapikan kerutan-kerutannya, lalu membelai rambutku halus. Kebanyakan kerja, tegurmu penuh afeksi. 

Kita terbangun tiap waktu salat subuh. Kamu melepas bagian selimutmu lalu menyelipkannya ke bawah badanku, membungkusku seperti burrito kenyal yang masih prematur. Langkah malasmu mengarah ke kamar mandi. Perjalanan belasan kilometer ke utara atau barat menanti pagimu. Kamu selalu merasa sakit. Aku meracau tak tentu arah sembari menamatkan Grand Theft Auto 5, hampir tak peduli padamu. Sebuah stik konsol hitam melekat erat pada telapak tanganku, ibu jariku sibuk menekan tombol-tombolnya, pikiranku terbenam dalam alur cerita Michael De Santa. Kebanyakan kena angin, tegurku tanpa empati.

Tanpa empati.


15) Yoko Kanno - My Favorite Things

Air mata menggenang di ujung kelopak, menunggu pecah dan mengucur deras membasahi pipi kananmu. Sound of Music sedang diputar lewat layar laptop berbingkai hijau toska. Beberapa penggal lagu kau nyanyikan lirih. Salah satu film favorit, Kamu bilang.

Kita menghabiskan tahun dengan tangis dan perpisahan, tawa dan perjumpaan, kecemasan dan perjalanan. Lecet di lututmu, cat ungu atau biru di rambutku. Kamu dan serentetan ujianmu, aku dan obsesi karierku. Perpisahan terakhirmu dari kebersamaan indah yang cuma sesaat, perkenalan pertamaku pada duka kehilangan yang kekal.

Air mata tak kunjung keluar dari sarang mereka, terlalu malas menjalar liar membasahi pipi kiriku. Episode terakhir Kids on the Slope sedang diputar lewat layar laptop berbingkai hitam. Penggalan lagu My Favorite Things kunyanyikan asal nyambung. Salah satu versi favorit, aku bilang.

"Kenapa, sih, emosinya nggak dilepas? Kasihan."


--2020--

16) The Cardigans - After All...

Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang pandai bikin akronim. Birokrasi berlapis dan beragam singkatan untuk serangkaian ujian yang terlalu panjang jadi obrolan keseharianmu. Kamu sering dongkol saat aku kesulitan dengan singkatan-singkatan yang mana cuma rekan-rekan sejawatmu yang memaknainya serius. UKMPPD, UKDI, CBT-OSCE, ACLS, DRSCAB. Aduh.

Sialnya, sisa waktumu di Yogyakarta kini sudah bisa dihitung oleh balita-balita yang dipaksa orang tua mereka meraba aritmatika. Tinggal sebentar lagi. Sambil berpacu dengan waktu, Kamu menyambangi teman-teman lama, menyambung benang-benang hubungan yang samar, menyumbang pikiranmu dengan cerita bergambar atau kucing-kucing yang tak ragu mencakar.

Nafsu dan harga diri menyetir keputusanku dalam membagi waktu. Terutama dengan Kamu. Orang-orang di fase ini memang sering takabur. Lewat doamu, Tuhan mengirimkan pertanda-pertanda sejelas gajah yang, sayangnya, hanya lewat sekelibat di pelupuk mata.

Yang kesatu, ponselku meluncur bebas ke dalam ember plastik cucian celana dalammu, menghapus jejak dan memori yang luput dari layanan awan. Belum kapok, Tuhan mengaktifkan tulahnya yang kedua. Layar cacat bawaan pabrik menghantam laptopku tanpa peringatan, membuatku merogoh jutaan hanya untuk termakan iklan. Hingga yang ketiga, Tuhan dan Kamu mungkin sudah bosan mengingatkan orang bebal yang sebentar lagi diabetes. Ia membuai kewarasanku dan jam tidurku buat saling membohongi satu sama lain. Aku belum bergeming.

"Selamat jadi kuda."


17) Europe - Carrie

Kabar buruk dari Cina mengubah rencana kita. Banyak yang meratapi kehilangan, tapi kita satu haluan: melihat wabah mematikan sebagai kesempatan. Ibukota yang kering kerontang jadi batu loncatan baru dari cetak biru masa depan kita yang lebih mirip kertas buram. 

Namun dunia lebih lihai untuk berkonspirasi mengubah impian dan angan-angan. Kita tak dilibatkan dalam kongsinya. Seandainya kita tak terlahir sial untuk berjudi, Tangerang Selatan dan Kemayoran tinggal sejengkal dari gapaian.

"Aku dapet Balikpapan," keluhmu sebelum sesal dan nestapa menjejali tiap sudut kotak perasaanmu.

Kota yang terkenal gerah itu tak lebih baik dari rayuan menyesatkan untuk pulang ke domisili keluargamu. Seremoni penyematan gelar di depan namamu yang diidamkan orang tuamu (dan orang tuaku padaku) tak begitu berarti lagi buatmu.

"Aku batal pindah ke BSD," ucapku setengah dongkol setengah bersyukur. Toh takdir kadung menculikmu ke Kalimantan.

Kita mengemasi barang-barangmu. Memasukkan mereka ke mobil pengangkut. Mencatat nama dan alamat tujuan di atas nota pengiriman. Aku memeluk Kamu erat. Bandara sepi nyenyat.

Kamu mengusap pipi dengan tisu yang diambil dari ransel warna ungu. Menutup daun pintu berkarat yang menghubungkanmu pada kota kelahiranmu.


18) Sunday Moon - Mirror

Kata orang, terpisah jarak terlalu lama akan membuat sepasang kekasih terjebak mencintai imajinasi, bukan yang asli. Apalagi sekarang sedang pandemi, orang jadi sering berandai lebih ekstrem. Aku menolak buat percaya. Barangkali Kamu juga.

"Kamu kan nggak suka yang seragaman?" tanyaku memastikan.

"Kalau kayak yang di sana sih, enggak," jawabmu dari Karangjati, beberapa hari menuju Klandasan Ilir.

Siang di Yogyakarta lagi ganas-ganasnya. Satu hal baik dari matahari yang lagi iseng tebar pesona adalah pencahayaan di kamera yang mendukung. Ia bisa membuat orang barbar tampak seperti orang Romawi bagi orang Romawi. Aku mengirim foto-foto kucing yang menemaniku sambil tidur menunggu waktu makan siang, juga swafoto warna rambut terbaruku berlatar kaca pemisah area bebas rokok dari kafe tempatku bekerja. Untung lokasinya sepi, jadi selain berani bergaya aku juga percaya pandemi tak akan mampir sementara.

Kamu membalas dengan kiriman satu stoples kue nastar — serta ancaman untuk menghabiskannya. Sambil menunggu paketmu tiba di tujuan, Kamu mencoba merebut perhatianku dengan lawakan: "Bebek berenang kakinya gerak terus di bawah air kenapa nggak berotot ya? Tolong dijawab. Dari Ratna di Rawamangun."

"Bentar, lagi call."


19) Mitski - Pearl Diver

Cuma orang berkepala keras, yang gemar adu keras sama orang keras kepala. Sama halnya dengan orang menyedihkan yang berpikir orang lain tak lebih menyedihkan. 

Ada juga jenis orang yang merasa tak tersiksa meski tubuh dan jiwa lagi dihantam siksaan tak berkesudahaan. Kamu, salah satunya. Namun ada lagi varian lain: orang yang merasa berguna saat satu-satunya kegunaannya hanya jadi orang yang tak berguna.

Kebetulan, tepat pada tanggal 9 Juli 2020 pukul delapan malam, aku merasa jadi orang paling berguna sedunia.


20) Shayne Orok - Marutsuke (From "Given")

Kita makin fasih bicara dalam bahasa yang hanya dipahami para bayi. Aku tak lagi jadi kuda lari, kini pura-pura jadi pemburu properti. Kamu kerasukan serial animasi remaja yang bertanding bola voli.

Kita makin galir mengeksplorasi diksi untuk sapaan yang hanya dipahami para bayi. Semangatku lagi tinggi-tingginya berburu properti. Kamu kerasukan serial animasi remaja yang bertanding bola voli.

Kita makin sering menghindar dengan distraksi yang hanya dipahami para bayi. Aku cuma peduli pada varian-varian soto Banjar untuk dicicipi dan daftar menggiurkan yang memuat turunnya harga properti. Kamu kerasukan serial animasi remaja yang bertanding bola voli.

Dan ada serial animasi lain yang membuatmu hampir membanting iPhone yang baru Kamu beli.


--2021--

21) Radiohead - Bullet Proof… I Wish I Was

Dering panggilan video memutus monolog dari podcast AC Milan favoritku. Kamu baru selesai jaga malam: rambutmu basah sehabis keramas, pori-pori di pipimu terbuka segar.

Kamu bercerita tentang rekan kerjamu yang suram, dan aku bercerita tentang pencapaian kerjaku yang payah. Kita tertawa. Rambutmu yang diusap handuk berkali-kali mulai mengering. Aku masih berbaring di kasur bersprei abu-abu polos dengan posisi yang sama.

“Aku baru dengar Radiohead,” katamu norak. “Surprisingly, No Surprises is so good, kayak Nia.”

“Kamu kurang riset,” aku meledek lebih norak. 

Oh sayang sekali, No Surprises tidak ditulis untuk orang-orang yang sedang patah hati. Ia ditulis untuk orang-orang yang hilang hati, menjadi robot, atau budak-budak yang terpaksa menyembah berhala.

Aku mulai mengoceh bebas seperti Pak Raden di depan penonton-penonton bayaran yang masih bocah tentang kejadian menyenangkan di balik kampanye politik Jeremy Corbyn saat konser Glastonbury berlangsung: Jutaan mulut lantang berseru bagian “You don’t speak for us.” Aku memberi penekanan pada kalimatku dan kuulang tiga kali. Kau tertegun gondok. Yah, seperti yang Kamu tahu, aku lanjut mendongeng hal-hal trivial seperti mata juling Thom Yorke yang diedit saat jadi model sampul majalah di masa mudanya, ketidakmiripan kakak-beradik Greenwood, pertemanan dengan Paul Thomas Anderson yang membawa Jonny ke Rajashtan untuk film Junun dan Thom bikin Anima, atau peristiwa meninggalnya istri Phillip Selway sehingga Radiohead mendedikasikan In Rainbows untuknya.

Rambutmu sudah kering sepenuhnya. Kini Kamu berbaring di kasur, berguling-guling. Tampaknya mulai bosan.

“Coba dengar album The Bends. Mereka masih niat ngeband.”

Balikpapan di malam hari mulai malu-malu memejamkan matanya, menarik diri dari mobil-mobil yang disetir ngawur, racikan teh tarik di pengujung kadaluarsa, atau deru kapal raksasa yang terus dipanasi. Seharusnya, aku melanjutkan cerita norak In Rainbows, utamanya Weird Fishes/Arpeggi.


22) L’Imperatrice - Forever Nobody

Kamu menempati kamar besar yang dibagi dua. Menara-menara tinggi dan cakrawala biru nilakandi belum lama menghiasi latar di balik tirai jendela. Kompleks luas yang dipenuhi pesakitan, dirujuk ke utara dari seluruh penjuru Jakarta. Militer di mana-mana, menjaga tiap yang datang dan pergi, masuk juga keluar. Ini adalah karantina.

Perlu waktu sekian bulan untuk kita berhasil memangkas jauh. Sesuai rencana, kita memagari diri dari kemungkinan kontaminasi. Kalau tak salah ingat, kita sempat rutin membayar rindu dengan meluangkan waktu bersama selama periode bebasmu. Tapi dimensi jarak tak cuma jauh dan waktu.

Kamu adalah pemeran utama dari panggung yang terbatas. Aktor bisa keluar-masuk, tapi penonton harus membayar tiket dengan virus dan surat rujuk.

Para aktor berpindah dari satu menara ke menara lain dengan kostum perang masing-masing. Hidungmu biru lebam-lebam, kulitmu merah merengkah, gairahmu hitam terkimbang-kimbang. Selepas bertugas dan terkulai lelah, Kamu meluangkan waktu sisamu sebisamu denganku. Saat ancaman wabah merendah, Kamu meluangkan waktu sisamu sebisamu denganku. Saat waktu sebisamu denganku merendah, Kamu meluangkan waktu sisamu dengan kabar gembira yang sudah berbulan lamanya sabar menunggu.

Panggung terbatas kini mulai terbuka agak bebas. Namun penonton lama sudah bukan prioritas.


23) YOASOBI - Gonjou

Tautan Spotify datang silih berganti dalam obrolan kita di WhatsApp. YOASOBI hadir cukup sering meski kamu jarang menjawab. Pada masa ini, kesenanganmu dan keceriaanku tak lagi berbalas seimbang. Tekanan mengimpitmu dari segala arah, membuatmu merasa kecil. Chat kita tak ubahnya seperti penjara. Tuntutan berdamai dengan masa kecilmu yang layu memutar-balikkan hatimu untuk memilih salah satu.

Aku suka sekali Gonjou, pamerku di salah satu panggilan video kita. Selain produktif merakit lirik berbekal stilistika ajaib dan andal menjahit pola nada rumit sehingga mudah diingat, duo YOASOBI kebetulan sedang bekerjasama dengan penerbit komik yang memopulerkan Blue Period.

“Oh! Kamu akan suka sama karakter utamanya. Duh, siapa ya namanya? Dia mirip kayak kamu: kesulitan menyalurkan perasaan, padahal cukup ekspresif,” jawabmu sumringah. Lama rasanya tidak melihatmu sesumringah itu.

Serial anime Blue Period dirilis tiga minggu kemudian. Aku membagi keceriaanku denganmu.

Tak mengindahkan, Kamu mengajakku bertemu. Untuk kali terakhir. Meninggaliku seperangkat tulisan J.R.R. Tolkien bersampul tebal sebagai kado ulang tahunku yang lewat tujuh bulan, dengan secarik ucapan bernada perpisahan.

Kebayoran Baru tersenyum kecut dengan langitnya yang biru, membuat siapa saja berteori tentang pelipur lara tak kasatmata, juga kesenangan baru di tengah tawa semu yang menyaru. Waktu, tak malu-malu menyibaknya tanpa harus berseteru dengan cemburu.


24) Charlotte Day Wilson - Doubt

Kamu mengetuk pintu kamarku dua kali dengan lembut. Perlu diperhatikan bahwa mengetuk pintu tanpa mengucap salam, atau menguak identitas, bisa membuat siapapun di kamar berpikir yang aneh-aneh. Penjaga kosanku pernah mengiraku tuannya yang galak saat aku mengetuk sambil udud — tak sempat ucap salam.

"Astaghf.." aku baru mau menjerit kaget, tapi Kamu sigap memutar kenop pintu sebelum aku membangunkan si kucing hitam gendut yang tengah memproduksi iler sambil menganga.

Kamu membawa kue warna putih-merah yang diperoleh dari kursus masak seharga tujuh juta per seri (waktu itu masih masa uji coba gratis). Meski baru pertama membuat kue, tapi dari penampilannya, kuemu sudah cukup cantik untuk diperjualbelikan lewat usaha tata boga kekinian. Lapisan teratasnya berhias potongan-potongan stroberi dan daun seledri (atau daun min?), sisi-sisinya dibelit plastik tebal transparan yang melingkar untuk menjaga bentuknya supaya tetap seperti tabung gepeng. "Aku bikin dua, tapi aku nggak tahu bisa habis semua atau enggak."

"Taruh atas meja aja, tapi tolong tutupi pakai sesuatu. Jangan sampai Nia tahu," pintaku, menunjuk meja pendek kayu dan setumpuk kertas penuh coretan dan diagram. Kamu menuruti permintaanku lalu bergegas ke kamar mandi, mencuci kaki dan wajah yang seharian terpapar matahari Grogol, sesaknya kereta api listrik jurusan Sudirman, juga pendingin mal Senayan City yang sedingin isapan pertama rokok jenis mentol. Tak lama, Kamu menyusul berbaring di sampingku, agak canggung seperti sepasang suami-istri yang sedekade tak bertemu. Di atas kasur berseprei cokelat, Kamu melepas napas panjang. Kali ini tanpa masuk selimut.

Si kucing hitam gendut yang kukunya barusan dikikir mencakarmu tanpa aba-aba. Ekspresinya sedangkal galian pasirnya saat berak, matanya menghunus tajam seperti pisau-pisau lipat yang baru kau keluarkan dari plastik pembungkus. Cakaran itu meski tidak menyisakan bekas dalam, dilakukan dengan penuh unsur kesengajaan. Kalau tidak salah, ini kedua kalinya: terjadi di waktu yang berbeda, tapi masih berdekatan. Aku kurang tahu bagaimana cara nalar kucing bekerja, cuma kalau kutebak, ia tahu permainan apa yang Kamu lakukan di belakang dan ia menandaimu. Dan bila dugaanku betul, uang yang kukeluarkan untuk membuatnya berberat tujuh kilogram tak mubazir.

Aku, karena kurang mahir membaca pertanda, menyia-nyiakan kemampuan si Tujuh Kilogram dalam menandai si petanda yang membawa luka di hari depan.


25) Lake Street Dive - Feels Like the Last Time

Semakin ke sini, aku jadi tahu bahwa kucing bisa membaca. Mereka memang bukan insan yang paham literasi, tapi setidaknya urusan firasat dan tengara, naluri kucing lebih baik dariku. Dulu aku menganggap mereka cuma peka pada harum-haruman, bebunyian, atau apa saja yang bisa dikecap. Usut punya usut, si Tujuh Kilogram lihai membaca irama gerak-gerik manusia lalu menafsirkan maknanya. Paparan hipotesis-hipotesisnya meyakinkanku kalau ia punya banyak bahan penelitian. Ah, andai kucing bisa baca-tulis.

Aku tertarik menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Dia pun begitu. Tadinya aku mengajaknya membuat jurnal berisi tentang Kamu. Namun si Tujuh Kilogram menolak, kurang sopan, ulasnya setelah dipikir ulang. Kami sepakat menulis reka adegan kegiatan kami sehari-hari — secara khusus ia minta tanpa bumbu. Sebagai tambahan, ia juga bilang lebih baik ditulis dalam bahasa Inggris, lumayan buat latihan.

Kamu mungkin belum (atau tidak akan pernah) baca apa yang kami tulis bersama. Dia juga menegaskan tak ada urusannya dengan Kamu. Meski begitu, nama akun yang kami pakai pernah aku rekomendasikan padamu, ngomong-ngomong. Dia juga setuju, toh ini untuk melupakanmu.

“Dicicil rutin sedikit-sedikit. Nanti lama-lama akan berkurang sakitnya,” saran si Tujuh Kilogram. Aku manut saja, dia yang lebih paham. Apa yang dia bilang juga mirip konselor profesional. Sesekali pembicaraan kami dibuka dengan pijatan-pijatan lembut dari tangannya yang gendut. Memulai sesi dengan cara itu ternyata menenangkan, seperti sejuknya duduk pagi-pagi di kursi teras rumah eyang, menatap halaman tanah berembun yang dipenuhi sayap-sayap laron setelah semalaman dibasuh air hujan. Pernah kusarankan dia buka jasa serupa saja, tapi kadung takut manusia. Aku lupa tak semua kucing suka orang.

Dari observasinya, dia punya pandangan unik tentang perilaku manusia dan cicilan. Dengan sengak dan agak sok tahu, ia berargumen jika cicilan dapat membuat segalanya terkesan ringan dan tak menyakitkan. Karena benci sakit dan semua yang berat, manusia mudah tergiur pada khasiat yang ditawarkannya. Kesimpulan kesatu tentang cicil-mencicil: Kau dibuai, tak sadar membiarkannya menggerogotimu sampai terlilit (bisa berarti baik maupun buruk, tapi menurut si Tujuh Kilogram, yang buruk biasanya berhubungan dengan utang, termasuk tentang uang dan budi). Kesimpulan kedua tentang cicil-mencicil: Begitu pula jika kau yang dicicil, kau bakal mudah didapat sang pencicil saat cicilan dekat pengujung lunas. Namun, lilitan dari cicilan tipe kedua lebih asyik dan mesra. Kau yang akan dapat lebih dari nilai yang seharusnya.

Kalau Kamu bagaimana? Ah, andai kucing bisa baca-tulis.


26) Wham! - Last Christmas (Pudding Mix)

Terlahir di masa-masa liburan cukup menguntungkan. Ulang tahun Kamu mudah diingat. Tanggalnya di akhir bulan, apalagi di pengujung tahun. Selain baru gajian, biasanya ada bonus. Pernak-pernik Natal bertebaran di pertokoan, lengkap dengan perdebatan tentang ucapan di media sosial. Orang-orang cenderung menandai periode ini.

Kilas balik dan penentuan arah jadi agenda dalam rapat-rapat atau majalah-majalah: mengevaluasi beragam pelajaran ke belakang, menyiapkan rencana haluan ke depan.

Orang dengan tanggal lahir seperti Kamu juga tak butuh kejutan ulang tahun. Selalu ada yang baru di masa yang akan berakhir. Aku dengan sekotak kaleng permen kunyah, misalnya. Atau buku Murakami idaman. Atau satu set buku Arswendo idaman — yang ternyata sudah punya.

Dan Kamu juga tahu, ada yang baru di dua puluh tujuh kedua puluh lima.


--20??--

27) Yockie, Chrisye - Dia

Seumur hidup, aku belum pernah lihat kalkun. Namun aku pernah sekali mengicip bubur kalkun di suatu pagi. Penjualnya ramah, ia menyiapkan porsi lebih daun jeruk untuk mereka yang datang pagi. Si penjual juga pintar memilih lokasi: dipayungi pohon angsana tua rindang yang melukis bayangan bolong-bolong tak beraturan di atas kanvas jalan beraspal, dan ditemani kucing-kucing intelek yang antre saat minta jatah. Ayam yang mengajakku ke sana. Sayang, rasanya tak sespesial mengenang adegan kepala Mr. Bean menyatu dengan pantat kalkun. Kalau waktu itu Ayam mengelabuhiku dengan bilang bubur itu bubur ayam, aku akan percaya-percaya saja.

Buat orang yang ketagihan makan kalkun, sebaiknya tinjau kembali. Di London pernah ada peristiwa pencoretan silsilah keluarga berbuntut rebut-merebut hak waris hanya karena kalkun yang tersaji di meja makan sengaja dihidangkan dingin. Pertama, daging kalkun biasa saja. Kedua, kalkun itu dingin. Apa yang lebih buruk dari daging biasa saja yang dingin? Tentu saja Seonggok Kalkun Beku Yang Disatukan Dengan Sepiring Puding! Dan seseorang benar-benar melakukannya pada tahun 1877. Artinya kau seharusnya bisa kebagian jatah sebongkah tanah keluarga kenamaan di dataran rendah London yang kini harganya meroket oleh inflasi dan urbanisasi andai selera humormu tidak lebih iseng dari menyajikan Seonggok Kalkun Beku Yang Disatukan Dengan Sepiring Puding. Pentingnya mengolah kalkun di sana barangkali setara dengan kesakralan babi dalam pesta keluarga Batak. Atau peran bubuk cabai ekstra pada kuliner Jepang. Salah pilih cara, dendam dipelihara.

Perlu diingat memelihara dendam itu buruk. Kau tahu ada buku yang membahasnya, bukan? Aku ingat Kamu pernah baca dan seharusnya sudah menonton filmnya. Tak seperti judulnya, bisa jadi sang pengarang punya maksud lain. Dendam bisa saja tak harus dibayar tuntas. Dendam juga bisa dilunasi dengan cara-cara lain. Tukar-menukar, perbaikan hubungan, perjanjian dengan setan. Sejauh ini, manusia masih bisa mengakali apa saja.

Dan sebagai manusia yang bisa mengakali apa saja, aku tak akan memelihara dendam pada Seonggok Kalkun Beku Yang Disatukan Dengan Sepiring Puding.


***

Terima kasih, empat tahunnya. Selamat dua puluh tujuh yang kedua puluh lima.

Listening to: Epik High, Yuna - No Different

0 comments:

Post a Comment