Apa kau tahu istilah yang tepat untuk sesuatu yang kau cintai sekaligus benci di waktu yang sama? Aku yakin setiap orang punya satu. Soal cinta dan benci, keduanya berada di kutub yang berbeda, tapi biar bagaimanapun bisa serempak dirasakan. Benarkah, ambivalensi? Benarkah, oksimoron? Entah istilah tepatnya, kata-kata memang terbatas untuk menjelaskan hal-hal tertentu. Yang kutahu, aku sedang menyanyikan salah satunya.
I don't know how, you were diverted
You were perverted too
I don't know how, you were inverted
No one alerted you
Suara George Harrison menderau samar dari speaker mobil, derasnya hujan di luar membuatku menekan tombol volume up beberapa kali. Aku menyanyikannya dengan lantang sambil mengutuk jalan yang macet. Beribu memori seakan bangkit dari kubur begitu While My Guitar Gently Weeps meracau dari playlist acak. Seribu memori baik, seribu memori buruk. Maaf George, aku terlanjur cinta namun sekaligus benci dengannya.
Ngomong-ngomong, aku sudah sebulan di sini tapi baru kali ini aku pergi keluar. Maklum, aku tak punya banyak teman dan pada dasarnya aku memang kesulitan mencari teman baru. Selain itu, aku juga butuh waktu bersenang-senang untuk diriku sendiri selepas kuliah. Dengan mengiyakan ajakan Zara, hitung-hitung aku sekaligus mencoba beradaptasi di lingkungan baru.
Dibilang lingkungan baru pun tidak juga, aku tinggal di sini hingga pertengahan kuliah, tapi Jakarta terlalu banyak berubah. Selama tiga tahun di Montreal, aku menangisi penggalan-penggalan memori memuakkan yang kupunya tentang Jakarta : deru klakson kendaraan yang memaksaku bangun tiap subuh, panas matahari jam tujuh pagi, menghabiskan sarapan di mobil saat macet berangkat sekolah, atau menikmati akhir pekan sendirian dengan jalan-jalan tak tahu arah di mall. Sungguh, merindukan hal-hal yang tak lagi kau miliki memang menyiksa, semuak apapun kau pada mereka.
Yah, rindu menghasilkan fantasi kusut yang hanya didesain untuk hal-hal memuakkan yang tak kaumiliki. Terbukti baru sebulan aku pulang, semua yang kurindu akhirnya kembali kumiliki tapi sensasi yang kurasakan hanya rasa kesal tak berkesudahan. Rasanya aku ingin terperangkap saja dalam fantasi kusutku, berenang-renang menyusuri setiap pojok romansanya, tenggelam erat di peluknya, hingga tak kuasa bangkit berdiri. Kupikir aku akan lebih menikmatinya.
Beberapa saat berselang, sebuah bangunan mungil bercat putih dengan papan kayu bertuliskan Resonance merebut perhatian mataku. Aku menyalakan lampu sen, lalu pria tua dengan payung dan stik merah langsung sigap membantuku memarkirkan mobil. Ia memayungiku hingga aku masuk ke dalam kafe. Di meja kasir, Zara berlari menciumku, mengelapku jaket jeans-ku yang sedikit basah dengan tisu, mempersilahkanku duduk, lalu menggenggam erat tanganku sambil tersenyum lebar sebagai ucapan selamat datang. Ia memilih meja di pojok kafe, cukup intim karena dikelilingi pembatas ruangan yang digantungi berbagai macam pot berisi tanaman obat-obatan.
"Aaah, Oyaak! Lama sekali rasanya. Tiga tahun, kan?" sapanya sebelum melepas genggamannya. Dari sekian
"Berapa lama ya? Aku lupa. Eh, pakai kerudung sekarang?" tanyaku sedikit terkejut melihat perubahan drastis cara Zara membungkus dirinya sekarang.
Tak langsung menjawab, Zara memalingkan muka ke arah pelayan kafe, memberi anggukan kecil, lalu merapatkan telapak tangannya ke dekat pipi kirinya yang tirus. Pelayan datang membagikan menu sambil tersenyum mempersilakan kami memilih dan berdiri menunggu di sebelah kami. Zara menyuruhnya untuk kembali ke tempatnya saja hingga kami selesai memilih pesanan. Setelah itu, ia kembali menoleh padaku.
"Beberapa bulan sebelum menikah. Satu setengah tahun lah. Yah, tak ada yang tahu kapan hidayah dari Tuhan datang padamu, kan?"
"Nggak ada yang tahu, sih. Yang jelas, Ia tak pernah datang padaku."
"Kau ini, masih sama saja."
Aku ingin menimpali seberapa banyak ia berubah tapi untungnya aku mampu menahan diri untuk menyinggung hal itu lebih jauh. Zara yang kukenal adalah Zara yang tak mengenal kata munafik dalam kamusnya. Kamus yang ia miliki penuh dengan kosa kata cemoohan dan ia fasih menggunakannya. Istilah-istilah itu pun dilontarkan dengan jujur, tanpa niat merendahkan. Ia seringkali menjadi yang terdepan dalam mengajukan pendapat, namun sayang mulut jujurnya kurang bisa ia kontrol sehingga banyak yang terluka karenanya. Aku memang tak banyak bicara, tapi aku nyaman sekali dengan cara otaknya bekerja. Hanya dengannya aku betah membuka mulutku lebih lama. Bisa jadi itu yang membuatku dekat dengannya. Bisa jadi pula, itu alasan orang-orang menjauhi kami. Atau bisa jadi, itu lah alasan mantan pacarku selingkuh dengannya.
Kami membolak-balik halaman buku menu. Ia menutup miliknya dan melambaikan tangan ke pelayan kafe. Ia pesan Hazelnut Latte, aku Cold Brew Toraja. Tak lupa, aku minta asbak dan kami berdua sama-sama mengeluarkan sebungkus rokok Marlboro merah dari tas kecil kami.
"Loh, masih merokok?"
"Memang kenapa?"
"Kupikir sebaiknya seorang ibu jangan merokok."
"Aku belum jadi ibu. Si Dhani belum mau punya anak, ingin menikmati waktu bersama sedikit lebih lama."
Aku pertama kali tahu Dhani, mantan pacarku, selingkuh dengannya beberapa bulan setelah aku meninggalkan Jakarta. Pada waktu itu, dia menelponku lewat Skype -kami rutin melakukannya dua hari sekali dan kupikir kami berdua menikmatinya. Ia mengawali pengakuannya dengan menceritakan rasa kehilangannya atas diriku. Ia bilang, aku dan dia bagai pinang dibelah dua. Dengan sifat yang sama, dengan kebiasaan yang sama. Dengan kebutuhan yang sama, dengan selera yang sama. Ia lalu bercerita saat aku pernah bilang aku suka sekali berteman dengan Zara dan akan memacari Zara andai bisa. Kalau aku saja bisa klop dengan Zara, kenapa dia tidak? Sudah sebulan berjalan, katanya. Dengan alasan seperti itu, ia minta aku memaafkannya dan Zara sekaligus. Aku hancur saat mendengarnya, tapi apa yang bisa kuperbuat? Toh, aku juga ikhlas kalau akhirnya dua orang terdekatku bisa saling membahagiakan satu sama lain.
Setahuku, mereka pacaran dua tahun sebelum menikah. Begitu lulus kuliah (keduanya lulus dan wisuda di waktu yang sama, manis bukan?) orang tua Zara mendesak Dhani untuk segera menikahi putrinya. Padahal, Zara berkali-kali menekankan bahwa ia ingin terlebih dahulu menjadi wanita yang mandiri, yang bebas, dan tak terikat oleh nilai-nilai patriarkial keluarganya. Namun apa daya, ide itu ditolak keluarganya mentah-mentah. Makanya, beruntung lah nasibnya karena Dhani akhirnya mau menikahinya. Dengar-dengar, Zara dan Dhani menikah di saat usia mereka sama-sama dua puluh dua tahun. Zara memang tumbuh di keluarga yang konservatif, tapi Zara sendiri kerap cerita betapa muak ia pada lingkungannya. Ia merasa terkekang karena ayahnya yang pemuka adat di kampung, tak ingin dianggap punya anak seorang perawan tua. Jujur saja saat itu aku tak begitu peduli dengan urusan mereka karena aku sendiri masih hancur karenanya.
Lain cerita, Dhani tumbuh bergelimang harta. Orang tuanya memiliki bisnis properti yang cukup sukses. Sebagai anak tunggal, semua keinginannya dengan mudah ia dapatkan. Seperti dua gitar Les Paul, dua amplifier Orange, dan lima perangkat gim konsol berbeda di kamarnya. Sebuah keistimewaan yang tak dimiliki kebanyakan orang, bukan? Namun sayang keistimewaan itu mahal harganya. Orang tua Dhani jarang sekali di rumah, sekalipun di rumah, setengah waktu mereka dihabiskan untuk menerima tamu dan telepon bisnis. Mereka memang memberi Dhani kebebasan yang mutlak, tapi tidak diikuti oleh kepedulian yang tulus. Kalau kau pernah nonton Richie Rich, kira-kira begitulah gambaran masa kecil Dhani.
Pernah ia bercerita tentang anak-anak sebayanya yang mengajaknya berteman hanya karena ia punya segalanya. Kalau teman-temannya mulai bosan, mereka akan meninggalkan Dhani satu-persatu. Sering Dhani merasa kesepian, dan untuk membuat teman-temannya kembali, ia mentraktir mereka jajan atau mereka tak akan kembali sama sekali. Bagaimanapun, Dhani tak pernah punya satu hal krusial yang sewajarnya dimiliki anak-anak : kasih sayang dan ikatan yang tulus dengan orang-orang sekitarnya. Bahkan setiap keluarganya rutin jalan-jalan ke luar negeri, ia terpaksa berkeliling sendirian karena orang tuanya diam-diam punya urusan bisnis di sana.
Semakin dewasa, Dhani sadar masa kecilnya telah dibarter dengan sampah-sampah mahal yang ia miliki. Ia menjadi penyendiri, sibuk dengan dunianya sendiri, enggan berbagi dengan orang lain. Ia takut orang lain hanya akan memanfaatkannya. Ia takut, orang-orang hanya akan menambah jejak buruk rekaman sejarah hidupnya.
Aku dan Dhani sekelas waktu SMA. Pertama kali ia mendekatiku saat
pelajaran Bahasa Indonesia, di mana kami semua diminta untuk bercerita
tentang liburan kami bersama keluarga. Dengan percaya diri aku
menceritakan liburanku yang membosankan, berkeliling ke beberapa toko
buku bekas turis di Bali. Aku sudah terbiasa tak peduli dengan label
yang diberikan teman-temanku padaku. Hingga Dhani mendatangiku di akhir
pelajaran, kemudian memuji ceritaku yang mirip dengan yang ia alami.
Sejak itu kami sering pergi berdua dan resmi berpacaran. Tak butuh waktu
yang lama bagi kami untuk saling menyesuaikan diri. Kebencian kami pada
realita, pandangan kami terhadap palsunya tatanan sosial, dan bagaimana
kami menyikapinya lah yang menjadikan kami cocok satu sama lain. Aku
seperti melihat diriku padanya dan ia melihat dirinya padaku. Meski kami
tak saling melengkapi, kami berdua serasa seperti mengencani diri kami
sendiri.
Di satu sisi, aku dan Dhani tumbuh untuk menikmati kebebasan kami, namun
di sisi lain kami merasa sangat kesepian. Tentu, menjadi bagian dari
keluarga konservatif yang kaku dan penuh kepalsuan hanya akan menyiksa
Dhani. Aku sendiri sudah pacaran lima tahun dengannya. Aku tahu benar
sebenci apa Dhani pada doktrin budaya ketimuran yang munafik, apalagi
dipaksa menjadi bagian dari kemunafikan, membuatku tak yakin Dhani akan
menikmati kehidupan barunya. Tak heran, aku pun paham alasan Dhani untuk
tak ingin punya anak cepat-cepat. Mungkin ia hanya tak ingin masa kecil
anaknya mereplika masa kecilnya. Atau mungkin ia ingin pelan-pelan
menjauh dari pengaruh keluarga Zara, supaya mereka tak banyak ikut
campur mengurusi anak mereka kelak.
"Maaf aku baru mengabarimu. Aku baru tahu kau sudah di Jakarta. Dhani
memberitahuku, tapi sekarang ia sedang banyak urusan, survey lahan
katanya. Ia sibuk sekali belakangan, makanya aku ikut-ikutan bisnis
kecil-kecilan begini. Lagipula, aku ingin bicara empat mata saja
denganmu."
Ah, jadi sekarang Dhani yang mengurus bisnis keluarganya. Kupikir ia
terpaksa menjalaninya, tapi dari cerita Zara, sepertinya Dhani tampak
menikmatinya. Dulu ia bercita-cita untuk memiliki usaha sendiri di
bidang lain, tapi nampaknya waktu memang mengubah orang.
"Nggak apa-apa. Ngomong-ngomong, apa maksudmu dengan hanya ingin kita berdua saja?" tanyaku penasaran.
"Duh, aku bingung bagaimana mengatakannya. Begini, entah kau sekarang
menganggapku seperti apa, tapi aku masih menganggapmu sama seperti dulu.
Dan kau adalah satu-satunya orang yang bisa kuandalkan soal ini..."
Zara melepas arloji Braun hitam dari tangan kirinya, lalu perlahan
menggulung lengan blus viscouse hijau tua yang ia kenakan. Lengan mungil
yang dulu putih mulus itu kini penuh dengan luka lebam kebiruan.
"Dhani melakukan ini padaku tiap ia pulang meeting. Aku cuma
tanya soal bisnisnya lalu ia menatapku penuh emosi kayak kesurupan leak
yang lagi lapar. Aku takut. Aku hanya diam ketakutan sementara ia memaki
tanpa henti," keluh Zara dengan volume suara yang makin mengecil dan
terbata-bata. Sebentar lagi pasti tangisnya meledak.
Aku diam saja tak ingin menyela ceritanya. Benar saja, air mata mulai
membanjiri pipinya yang memerah dan isak tangis membuat suaranya seperti
kambing yang pura-pura kejang sesaat sebelum disembelih.
"Kalau aku sudah diam, dia bakal meninggikan suaranya lalu membanting
barang-barang di sekitarnya. Biasanya aku cuma bisa meringkuk sambil
menutup telingaku. Kalau sudah begitu, dia nggak segan mencengkeram
tanganku keras sekali, membuka paksa kerudungku, menjambak rambutku dan
bicara keras-keras di samping telingaku. Aku nggak bisa apa-apa, aku
sudah pasti menangis. Nggak lama pasti dia mulai memukulku dengan
bantal, atau paling parah menendangku bertubi-tubi." lanjut Zara sambil
memperlihatkan pinggangnya yang juga penuh luka lebam.
"Lalu?" aku akhirnya buka mulut.
"Setelah aku menangis nggak berdaya, sorot matanya berubah dan tiba-tiba
Dhani jadi peduli padaku. Ia lalu memelukku, terus-menerus minta maaf
sambil mengusap tangisku. 'Cup, cup. Maaf sayang, aku khilaf terbawa
emosi,' katanya. Aku balas memeluknya saat ia mencium keningku dan
mengelus rambutku penuh penyesalan."
"Selama ini kau nggak cerita ke siapa pun? Ini kelewatan, Ra." tanyaku sambil mengulurkan tisu.
Ia mengisap rokoknya sebelum melanjutkan, "Dengar dulu. Selanjutnya dia
bakal membelai pipiku dan menciumku perlahan. Kalau nggak kubalas
ciumannya, ia akan memaksaku melakukannya. Dan kalau sudah begitu,
tangannya pelan-pelan meremas dadaku dan.. kau tahu lah.."
"Tahu apa?"
"Nggak usah pura-pura bodoh, kita sudah sama-sama dua puluh empat tahun."
"Oh.."
"Ya, kami melanjutkannya dengan seks. Di ruang tengah, di dapur, di atas
meja tv, di garasi mobil. Di mana pun kami bisa melakukannya. Dhani
kelihatan sangat bernafsu melakukannya, aku jarang lihat nafsu sebesar
itu tiap kami melakukannya secara normal."
Aku menelan ludah dan mencoba membayangkan hal lain. Mendengar cerita
seks antara Zara dan Dhani lebih jauh hanya akan membangkitkan
memori-memori yang tak kuinginkan.
"Maaf aku cerita ini padamu, tapi aku nggak tahan, Oyak. Dhani sekarang
jarang melibatkanku dalam diskusi atau ambil keputusan soal hal-hal
remeh kayak pas masih kuliah. Sekarang ia melihatku cuma sebagai
properti, seperti cara keluarga besarku melihat istri-istri mereka. Aku
ingin diperlakukan sebagai partner, makhluk yang setara. Bukannya budak
seks yang nggak berdaya lalu disumpahi macam-macam dan selalu berakhir
lemas di ranjang. Aku nggak tahan harus hidup dengan ketakutan yang sama
bakal terulang esok hari." aku Zara diselingi isapan rokok dan isak
tangis yang tak seirama.
"Lalu kenapa baru cerita sekarang? Pernah coba ke konsultan rumah tangga?"
"Nggak. Nggak bakal, kurasa. Aku bahkan nggak berani bilang ke Dhani.
Memang kau pikir aku mau buka-bukaan soal ini? Kau pikir nanti
keluargaku mau bilang apa? Keluargaku menganggapku beruntung sekali
punya suami sekaya Dhani. Kalau tahu aku mau minta cerai, mereka bakal
memaksaku untuk tetap diam dan bilang 'Awal nikah pasti banyak
cekcoknya' atau 'Roda berputar, kadang di atas kadang di bawah' atau
apalah.."
Kalau mau jujur, aku tidak kaget. Ternyata Dhani yang sekarang masih
seperti yang kukenal. Selama pacaran lima tahun, kami seperti saling
menyalurkan energi kami satu sama lain, entah positif atau negatif. Kami
bisa dipenuhi nafsu untuk saling menguliti, dan di waktu yang sama
memberikan nyawa kami satu sama lain jika diperlukan. Kami bisa
dibutakan kebiadaban untuk saling menyobek arteri di pelipis
masing-masing, lalu sekejap merengek manja seperti bayi yang ditinggal
ibunya sepersekian detik. Termasuk soal seks, kami sama-sama kecanduan
hubungan yang deras akan cinta dan amarah. Apalagi jika zat-zat haram
macam amfetamin atau LSD sedang mengalir liar di darah kami, fantasi
kami soal kekerasan dalam seks biasa kami wujudkan dengan makin
variatif. Lucunya, meski berakhir lebam-lebam, tak satupun dari kami
mengeluh. Kami cenderung menikmati setiap prosesnya.
"Kenapa kau cuma mau cerita padaku?"
"Kenapa? Ayolah, aku tahu luar dalam soal kau dan Dhani, tapi kalian
nggak pernah cerita soal hal-hal kayak gini. Sola-ku sayang, ini saatnya
kau jujur padaku, siapa tahu itu bisa membantuku, atau seenggaknya
menenangkanku." ujar Zara sambil membenarkan lengan bajunya dan memasang
lagi jam tangannya.
Pikiranku kacau. Aku tak tahu harus bicara apa. Beberapa saat lalu,
memoriku seperti mempermainkanku. Ia sengaja memunculkan potret masa
laluku dan Dhani yang sudah kukubur dalam-dalam. Seperti saat kami
menghabiskan satu minggu penuh untuk berkelahi dan bercumbu, hanya
karena kami menentukan siapa teman ospek yang boleh kami balas pesannya.
Atau saat ia tak suka caraku menghabiskan limit kartu kreditku dengan
membeli sekardus koleksi buku baru, lalu ia membalas dengan membeli
koleksi buku yang sama untuk dirinya sendiri. Masalah-masalah sepele
macam itu biasanya memang kami lanjutkan dengan keputusan bodoh, dan
ditutup dengan seks yang membabi buta.
"Ra, begini.." dadaku sesak dipenuhi kenangan tentang Dhani. Aku
bingung, ini kah saat yang tepat untuk berdamai dengan diriku sendiri?
Zara dan aku sama-sama mematikan rokok untuk memulai proses menyimak dan pengakuan, sesuai peran kami masing-masing.
"Kau pernah dengar orang tua Dhani sibuk sekali berbisnis sampai Dhani nggak pernah merasa dekat dengan mereka?"
"Ya, dia sering cerita padaku. Apa hubungannya?" Zara bertanya heran.
"Faktanya, mereka nggak sesibuk itu. Dan... tiap kali Dhani bilang
mereka pamit keluar untuk bisnis, mereka semacam... mencari tempat untuk
melampiaskan.. kau tahu, hal-hal liar yang kini kau alami."
"Maksudnya?"
"Hmm, Dhani pernah cerita beberapa kali ia mengikuti orang tuanya
diam-diam. Di loteng, di basement, di mana pun yang menurut mereka aman,
ternyata Dhani mengendap-endap di belakang mereka. Ia juga bilang,
sekasar apapun ayahnya memperlakukan ibunya, ibunya kelihatan
happy-happy saja. Memang nggak jarang dia lihat ibunya menangis, tapi
tiap kali ditanya, ibunya berkilah 'Ini tangisan bahagia'. Begitu."
"Dan... apa ia pernah melakukannya padamu?"
"Pernah, dulu sekali. Memang, pada awalnya dia memperlakukanku
kayak binatang. Tapi, aku pun punya memori yang nggak kalah buruknya.
Kau tahu kan, sebab ibuku menceraikan ayahku? Berbeda dengan orang tua
Dhani, orang tuaku saling memaki dan berkelahi di depanku dan abangku.
Sebelum ibuku menggugat cerai, terjadi perkelahian hebat. Abangku sempat
naik darah sampai memukul tenggorokan ayahku, makanya dengar-dengar ia
jadi sulit bicara sekarang. Ia bilang padaku, kalau suatu hari nanti aku
mengalami hal yang sama, jangan ragu untuk melawan."
"Terus?"
"Tentu aku melawan. Nggak ada yang mau diperlakukan kayak anjing.
Mungkin kau bisa ikut kelas beladiri, Muay Thai atau Krav Maga mungkin."
aku mencoba melawak.
"Hahaha yang benar saja, aku yang kayak tuyul busung lapar ini bisa apa
sih? Kena sekali chockslam aku langsung jadi serbuk energen." Zara balas
melawak, masih garing seperti biasa.
"Kau ini, coba dulu. Tapi kalau aku dulu sih mudah saja, orang macam
Dhani jadi culun tiap takut kehilangan. Dulu aku sempat meninggalkannya
dan sengaja lost contact selama dua bulan, sampai akhirnya dia
datang ke rumahku lalu memohon-mohon kayak unta kehausan. Dia mengaku
kapok dan sangat tersiksa dua bulan aku nggak ngasih kabar apapun. Yah,
karena aku masih sayang, kubilang saja kalau ia berani melakukannya
sekali lagi, aku bakal benar-benar pergi dan nggak kembali. Untungnya
sih setelah itu nggak pernah lagi ada kejadian kayak gitu, dan sayangnya
aku harus terpaksa ikut ibuku kabur ke Montreal. Jadi.. yah, begitulah.
Aku nggak nyangka Dhani juga melakukannya padamu."
"Benarkah? Ah, Oyaak.. terima kasih. Aku lega akhirnya aku bisa buka
mulut soal ini. Tapi aku lebih lega karena aku bisa buka mulut padamu.
Nggak salah waktu kupikir kau adalah satu-satunya orang yang tepat buat
masalahku ini. Maaf aku nggak bisa kasih kamu apapun kecuali ucapan
terima kasih dan sebotol Cold Brew Toraja. Kuharap kau masih mau ngobrol
denganku kapan-kapan sampai masalah ini selesai."
"Halah, santai saja Ra. Kupikir aku lah yang harus berterima kasih
karena kau mau buka-bukaan padaku. Kau tahu? Aku sangat merindukan
saat-saat kayak gini. Boleh lah, kita harus banyak ngobrol begini."
Aku dan Zara melanjutkan obrolan sampai Resonance hampir tutup. Sesudah
itu, aku pamit pulang sementara Zara masih ingin mengawasi
pegawai-pegawainya lebih lama lagi. Hingga malam, kafenya tak begitu
ramai. Aku menutup pamitku dengan menyemangatinya menggunakan kata-kata
standar yang intinya mendoakan kesuksesan bisnisnya. Berkali-kali aku
melakukannya, tapi baru kali ini aku sungguh-sungguh memaknainya.
***
Enam tahun berlalu sejak pertemuanku di Resonance. Aku sudah pindah ke
Bandung dan kini bekerja di sebuah firma arsitektur. Hari ini akhir
bulan dan aku baru saja selesai menonton film terbaru Christopher Nolan.
Setiap akhir bulan, kantorku memberi libur ekstra tiga hari bagi
karyawannya untuk mengurangi beban kerja berlebih karena belakangan
kantorku sedang mengerjakan proyek besar. Karenanya, aku punya waktu
luang untuk sekedar menonton film di bioskop atau bermalas-malasan di
apartemen.
Bioskop hari itu penuh sekali, aku cukup beruntung mendapat satu tiket.
Saat berjalan keluar, aku melihat sesosok wanita yang sangat kukenal.
Zara. Begitu pun saat ia melihatku, ia langsung mengenaliku.
"Kita nggak pernah ngobrol lagi sejak terakhir di Resonance." tukas Zara.
"Iya maaf aku nggak pernah membalas chatmu. Aku sedang sibuk magang waktu itu."
Kami ngobrol sambil berjalan menuju tempat kami memarkirkan mobil. Zara
cerita soal Resonance yang sukses besar dan kini ia memasrahkannya
kepada bawahannya. Sayang obrolan kami tak berlangsung lama, ia mengaku
sedang terburu-buru karena suami baru dan anak laki-lakinya yang masih
TK menunggunya di rumah. Sambil membawa tas plastik besar berisi
belanjaan bulanan, sesekali ia tertawa lepas saat menceritakan tingkah
laku anaknya yang masih polos. "Aneh-aneh ya anak kecil jaman sekarang.
Masih TK kok cinta-cintaan." kelakarnya. Zara kelihatan bahagia
menjalani kehidupan barunya. Tak lupa, aku sempat membantunya memasukkan
belanjaan ke bagasi mobilnya. Setelah selesai memasukkan barang, ia
melambaikan tangannya padaku dan berpamitan. Ia memintaku untuk
menghubunginya lagi setelah tahu kami sama-sama tinggal di Bandung
sekarang.
Aku masuk ke mobil lalu diam sebentar. Pikiranku membawaku kembali
ke Resonance, ke pertemuan itu, ke waktu di mana aku memutuskan untuk
tidak jadi berdamai dengan diriku sendiri. Antara penyesalan dan
kelegaan telah berbohong pada Zara. Menyesal karena berbohong itu, yah,
perbuatan yang salah. Lega karena, kebohonganku membuat Zara menggugat
cerai Dhani dan akhirnya ia bisa hidup bahagia dengan suami barunya.
Sambil memacu mobilku pelan-pelan, aku merenungkan peristiwa itu.
Seandainya saat itu aku memilih untuk jujur. Tentang kegemaranku pada
seks liar, tentang ide mendominasi satu sama lain. Tentang Dhani yang
gemar mendominasi ternyata pada satu waktu bisa pula bertekuk lutut
setelah aku berhasil membalik keadaan. Tentang sensasi aneh tapi nikmat
saat aku yang menjadi dominan atas dirinya.
Aku bisa saja bercerita kalau aku mulai paham kenapa Dhani gemar
melakukannya dan memang kami sesekali berbincang soal itu setelah seks.
Biasanya, sambil menghisap beberapa linting ganja yang kami pesan, aku
mengajukan ide untuk terus melanjutkan hubungan dengan cara seperti itu.
Pernah suatu ketika hubungan kami dingin-dingin saja, aku dan Dhani
malah merasa ada yang aneh. Kami secara sadar menginginkan hubungan yang
berapi-api dan setuju untuk terus melakukannya. Tidak sehat memang,
masing-masing menjadi terlalu berlebihan dalam menjunjung konsep
kepemilikan. Kau tahu, itu sebabnya aku dan Dhani sama-sama tak punya
teman sejak SMA hingga kuliah.
Sesampainya di apartemen, aku masuk ke dapur dan membuat dua gelas kopi.
Satu untukku dan satu untuk Dhani yang masih sibuk dengan leptopnya.
"Tadi aku ketemu Zara."
"Apa dia tanya soal aku?"
"Nggak, kayaknya dia nggak tahu."
"Bagus lah."
Dhani menyeruput kopinya tapi buru-buru menaruhnya di atas meja. Masih
terlalu panas, katanya. Ia menutup leptop dan menyalakan sebatang rokok.
Bangkit dari kursinya, ia mengambil gitar, lalu berjalan ke arah kasur
dan berbaring di sebelahku. Dijepitnya rokok yang ia nyalakan di antara
jari manis dan jari tengahnya. Sambil mengatur posisinya, ia mulai
memetik senar gitar dan melantunkan verse kedua lagu kesukaan kami.
I look at the world and I notice it's turning
While my guitar gently weeps
With every mistake we must surely be learning
Still my guitar gently weeps
Aku menenggak kopiku sambil memejamkan mata seiring Dhani bernyanyi.
Kupikir aku harus bersyukur karena telah melakukan langkah yang benar.
Sekali lagi memberi kebahagiaan bagi dua orang terdekat yang kumiliki.
Tak lama aku membalas Dhani dengan menyanyikan bagian reffnya.
I don't know how you were diverted
You were perverted too
I don't know how you were inverted
No one alerted you
***
Kepada Dhani Harrison dan Sola Káradóttir. Bapakmu memang luar biasa.
0 comments:
Post a Comment