Pagi itu, seperti biasa aku pulang sambil sesekali menatap bangkai werog pada satu titik di jalan berliku dari Kyai Mojo sampai komplek rumahku. Mereka selalu mati di tempat itu -di tengah jalan, setelah perempatan pertama, persilangan jalan menuju sebuah sawah sempit dengan palang "TANAH DIJUAL" tertancap gagah di tengahnya. Lucu, meski darah merahnya muncrat berceceran bagai lukisan abstrak Taro Yamamoto melumuri jeroan lainnya, tapi usus werog itu masih murni kekuningan tanpa cela, sepintas seperti tai, tapi terlalu menjijikkan untuk disebut tai. Hal itu membuatku sontak mengalihkan pandangan ke arah lain, sedikit mengerinyitkan mata, memacu lebih kencang motorku, iuh. Werog yang sama, dua hari lalu.
Intro yang buruk.
***
Satu setengah tahun ga nyentuh blog sama sekali (Sejatinya ini post bulan Agustus), dunia berubah cepat. Cita-cita wartawan tinggal mimpi, bukan cari kerja malah gaji yang dicari, blogger cuma jadi referensi skripsi, Nangor nyisa berapa bulan lagi, Milan jadi tajir tapi makin dibully, Delima Rahmawati, dan Jogja udah ga cozy, malah costly.
Omong-omong soal cozy, buatku Jogja 2015 mulai mereduksi konsep "Berhati Nyaman" oleh dalih "Pembangunan", baik itu secara fisik atau ekonomik. Wajah Jogja yang terkenal ramah, murah, dan kental atmosfer njawani-nya, emang bikin nyaman para penghuninya. Bahkan bagi pendatang yang numpang singgah sekalipun. Makanya, -menurutku- belakangan ini kehadiran para pendatang di Kota Jogja menumbuhkan atmosfer baru, keragaman yang sebenernya udah berakar mengingat predikat kota-nya mahasiswa, berubah jadi keragaman baru yang berasal dari makin banyaknya pendatang yang akhirnya menetap. Yogyakarta Berhati Cozy.
Karya John Simon Wijaya
Pendatang membawa berbagai budaya baru untuk masuk dan berakulturasi dengan nuansa cozy-nya Jogja. Mereka tentu juga membawa gaya hidup ataupun standar hidup yang mengakar dari budaya tempat asalnya, yang kadang beda dibanding budaya Jogja pada umumnya. Contoh : Kebanyakan orang Jogja jarang belanja baju branded mahal karena di Jogja ga ada / dikit yang jual. Beda sama orang Jakarta yang udah biasa beli baju branded mahal karena di Jakarta banyak yang jual. Wajarlah standar hidup di Jogja emang relatif kecil dibanding kota-kota besar lain. Jogja memiliki biaya hidup Rp 4,803,345/bulan, sedangkan rata-rata nasional saja Rp 5,580,037/bulan (sumber : Berita Resmi Statistik No. 09/01/Th.XVII, 2 Januari 2014). Di sisi lain, cozy-nya Jogja tidak melulu berbau materialistik dan jauh dari hedonisme. Apa yang saya sebut cozy-nya Jogja, bermakna lebih dalam, yaitu luapan emosional atas romantisme masa-masa perjuangan hidup dalam kesederhanaan. Ga perlu muluk.
Jogja 2015? Dalam kurun waktu singkat, lihat maraknya cafe-cafe mahal, munculnya hotel-hotel dan mall-mall baru, sesaknya perumahan-perumahan baru, berkurangnya tanah lapang, sampai tren bergantinya sepeda ke mobil bagi para pelajar. Imbasnya, menurut saya ga cuma ke masalah ekonomi dan ketersediaan space fisik aja, saya juga ngerasain gimana perubahan di masyarakat (khususnya di circle saya) yang kini cenderung lebih egois dan bodo-amat terhadap lingkungan sekitar. Di aspek sosial, saya ngeliat mulai banyak yang milih pake mobil cuma buat beli pulsa ke konter depan komplek daripada jalan kaki / naik sepeda. Eh plis, Jakal penuh bukan kepalang karena hal-hal sepele macem itu. Di sana, kamu bisa jumpai ratusan pengendara mobil plat AB yang ber-gue-lo (meski dengan aksen yang dipaksakan) ke sesama temannya YANG JUGA ORANG JOGJA. Saya rasa di seputaran Jakal, "Jogjakarta" udah kehilangan "Jog"-nya.
Karya HereHere dan Mas Farid Stevy
Dari aspek ekonomi, mereka yang terlanjur punya standar hidup lebih tinggi pastinya ga bakal bermasalah sama perubahan ini. Toh mereka mampu-mampu aja. Apalagi makin banyaknya pusat perbelanjaan di Jogja berarti produk yang dijual juga makin variatif dong, ga dikit kok produk luar yang dulu harus impor/beli di kota lain sekarang udah bisa didapetin di Jogja. Ujung-ujungnya masyarakat Jogja makin konsumtif sama barang luar meski harga udah ga murah. Di level itu, kompetisi antar pelaku bisnis memuncak, harga naik ga karuan, unsur komersialisme makin menjamur.
"Ngopo didol murah nek didol larang wae isih payu", kata temen yang ngelapak di kawasan Malioboro. Lho lhaiyo, hukum ekonomi men, kalau permintaan masih banyak ya harga belum turun.
Jogja jadi mahal. Nasi Telor di Burjo jadi 7500. Boom! Di situ saya jadi ga nyaman.
Seolah kebijakan Pemkot buat buka ijin konstruksi properti besar-besaran beberapa waktu lalu harus dibayar dengan reduksi makna "Yogyakarta Berhati Nyaman".
Tapi toh jangan kira perubahan ini berkesan negatif. Di sisi lain, banyak perkembangan positif juga kok. Aspek ekonomi misalnya, masyarakat makin kompetitif buat cukupin kebutuhan sehari-hari yang harganya meroket. Aspek kegaulan, beli Zara ga harus jauh-jauh ke Bandung toh nanti di Jogja juga ada. Aspek nongkrong cantik sama cewek, sekarang ga perlu bingung cari tongkrongan yang ga remang-remang karena cafe non-remang udah overload jumlahnya. Apa ya.. masih banyak yang lainnya..
Karya HereHere dan Mas Farid Stevy
Dan lagi, buat apa saya protes kalau emang masyarakat terlanjur terbiasa & mau nerima pergeseran makna cozy itu sendiri? Toh cozy yang berlandaskan "Romanticism in Simplicity" kebanyakan cuma berlaku buat orang Jogja yang lagi ngejar materi di kota lain. Sewaktu muak ngejar materi, mereka mulai sadar bahwa ada bagian dari dirinya yang tertinggal di tempat lain. Mereka masuk ke ruang memori, mencari-cari sampai mendapati dirinya terjatuh ke jurang rindu kenyamanan Jogja yang sederhana, namun membekas. Kaya usus werog tadi, tetep aja kepikiran walau udah gapengen inget-inget lagi. Rindu itu bakal terus menghantuinya, selama mereka ga bisa nemu penggantinya. Karena rindu yang paling rindu, adalah ketika kita tak lagi bisa berjumpa dengan apa yang kita rindukan.
"Pada dasarnya, percuma mendeklarasikan benci tapi secara bawah sadar menikmatinya."
***
Listening to : Radiohead - Last Flowers
0 comments:
Post a Comment