Monday, July 25, 2016

Antrean Roti Brangelina






Sudah terlambat, wanita itu kini terlihat kesal. Ia mengangkat gelasnya dan menghentakannya beberapa kali ke atas meja. Semut-semut terlanjur menikmati teh manisnya. Saking nikmatnya, mereka tak bergeming diusik.

"Kau ini kenapa? Sudah bagus aku ajak ke sini, kerjaanmu cuma membuat gaduh saja!" Luki memarahi Hana tanpa meliriknya sedikitpun, tatapannya terpaku pada cahaya layar laptop yang lebih megah dari lampu kafe tempat mereka berada.

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Kau pun daritadi tak menghiraukanku," kekesalan Hana memuncak.

Luki menutup laptopnya sambil menghisap sebatang rokok yang tinggal sepertiga panjangnya. Ia tahu kekasihnya kesal. "Kau tahu hal apa yang paling menyenangkan dari rokok yang tinggal sedikit?"

"Yang kutahu, mereka suka sekali membunuhmu."

"Bicara soal membunuh, bagaimana perasaanmu jika ternyata orang tuamu selama ini adalah pembunuh bayaran? Sangat keren punya orang tua seperti Brad Pitt dan Angelina Jolie. Pasti anak mereka akan selalu pamer di sekolah."

"Bodoh, bahkan mereka tidak pernah benar-benar membuat anak!" Hana berargumen seperti tidak terima. "Hmm. Orang tuaku, entahlah, jika mereka membunuh orang, aku hanya berharap mereka dibayar layak untuk melakukannya," kata Hana dengan aksen Sunda khasnya. Aksen itu hanya terdengar setiap ia marah atau anehnya juga saat ia tertawa.

"Aksenmu ini lah yang membunuhku setiap hari," kata Luki sambil memasukkan leptop ke dalam tas Converse biru andalannya. Ia tak pernah sadar, dari semuanya, aksen Jawa miliknya lah yang paling Hana benci. 

Mereka berjalan keluar dari kafe, lalu berbelok menuju eskalator yang berada di ujung mall. Beberapa langkah sebelum eskalator, Hana terhenti. Ia tidak tahan mencium bau parfum toko roti yang terlalu pekat untuk dilewatkan. Hana menarik tangan Luki agar mau menemaninya mengantre untuk membeli roti yang bentuknya sangat biasa itu. Di depan mereka, berdiri seorang wanita berparas barat yang nampak tak sabar menanti untuk memesan. Ia ditemani oleh pria lokal yang tinggi badannya tidak sampai setengah tinggi pasangannya.

"Jika kau putus denganku nanti, carilah orang yang lebih tinggi darimu," Luki berbisik pada Hana. Ia mencondongkan badannya ke depan, sedikit memajukan tangannya, lalu perlahan mengangkatnya ke atas hingga setinggi dagu sambil terkekeh kecil.

Hana pura-pura tidak melihat. Ia sadar, wanita barat itu tahu Luki sedang meledek suaminya.

"Kupikir kau terlalu serius dengan semua leluconku hari ini, Han. Ada apa denganmu?" Luki menundukkan kepalanya, mencegah dirinya sendiri untuk mengeluarkan tawa sekecil apapun.

"Bukan begitu, bule itu menatapmu terus. Jika ia punya kesempatan, aku yakin wanita itu akan pulang ke negaranya dan membawa armadanya untuk kembali menjajah kita tiga ratus lima puluh tahun lagi hanya untuk menyiksamu," bisik Hana. Sambil memalingkan wajahnya, dua bola matanya berpindah-pindah dari kiri ke kanan dalam kecepatan dua geseran per detik. Tangan kanannya menggenggam tangan Luki, sedangkan tangan kirinya berusaha menutupi komat-kamit bibirnya dari si bule.

"Kenapa harus tiga harus lima puluh tahun? Rokokku sudah pasti akan membunuhku entah dua puluh atau tiga puluh tahun lagi."

"Kau memang tak pernah mengerti," kata Hana pelan. Dua bola matanya masih siaga mengawasi pasangan di depannya yang bersiap meninggalkan antrean.

"Memang aku tak sia-sia hidup bersamamu," jawab Luki lega. Sisa-sisa tawa yang ia tahan pun keluar malu-malu.

"Seharusnya aku mulai menanyakan berapa tarif orang tuaku."

***
Listening to : Radiohead - Life In a Glasshouse

0 comments:

Post a Comment