Thursday, June 27, 2019

Empat Puluh Hari


Dulu aku tidak bisa bayangkan seandainya aku harus tidur dengan istri yang baru bisa tidur dengan lampu mati. Gelap dan sunyi, menyedihkan rasanya. Hanya sudut tertentu di kamar yang bisa kau pandangi dari matamu yang malu-malu menyembul dari balik selimut tebalmu, seperti cahaya nanar lampu penanda suhu AC di atas tirai warna krem yang tak pernah kau ganti, atau semburat pantulan lampu itu di gantungan baju besi di seberangnya. Jika lagi beruntung, secercah cahaya kuning lemah berhasil masuk melewati sempitnya lubang ventilasi yang kini tertutup kertas HVS — untung saja lemnya tidak rapi — dari lobi indekos.

Sedari kecil, ada banyak hal yang membuatku takut tidur di keadaan gelap — dan sunyi sempurna, tentu saja  bahkan sampai setelah aku dewasa dan sedang bersiap menyambut anak keduaku. Yang pertama, kasurku empuk. Saking empuknya, denyut di tulang belakang terasa kencang, menjalar dari ujung rambut hingga kuku jari kakiku, seakan tubuhku dihuyung ombak saat berlayar, atau lebih parah, digoyang bumi dengan gempanya. Kebetulan, aku berada di Yogyakarta saat gempa 2006 memorakporandakan kota kelahiranku dengan kekuatan yang tak main-main, 5.9 skala Richter selama hampir 57 detik pada jam 5:55 pagi. Jadi traumaku pada goncangan tak terduga cukup beralasan, bukan? Terlebih, instingku untuk selalu siaga menilik ada atau tidaknya gerakan pada air minum di dalam botol yang selalu kusiapkan di meja riasku tiap kali ada goncangan (istriku kerap menggerakkan kakinya saat tidur) membuatku bergantung pada hadirnya cahaya agar bisa terlelap dalam damai.

Ngomong-ngomong, tadi malam aku mengalaminya. Satu pejaman terakhir tanpa pernah kembali terbuka, disorot lampu menyala heboh seperti sedang persiapan konser orkestra. Istriku yang perutnya seperti habis memakan galon tidak pernah menampilkan wajah sejelek itu. Pipinya merah karena gemetar hebat, mulutnya terbuka setengah dan sesekali, air mata yang mengalir deras dari kedua matanya masuk ke mulutnya. Rasa asin dari air mata atau ingus — yang mungkin merusak momen — tidak diacuhkannya dengan tetap sesenggukan dan malas mengelapnya dengan tisu. Anakku menyaksikan drama ibunya dari balik daun pintu kamar paviliun Edelweis bernomor 4. Adik iparku memeluknya erat. Namun, bocah itu tidak menangis. Wajahnya seperti tampang aktor di panggung yang kebingungan karena lupa skenario, tidak bisa mengikuti arah cerita yang disiapkan untuknya. Ia terlalu kecil untuk tahu kalau kehilangan seorang ayah adalah peristiwa yang sama sekali tidak menyenangkan.

Hari ini adalah hari di mana keluargaku direpotkan dengan urusan pemandian jenazah, rumah duka, pemakaman, dan berbasa-basi dengan sanak saudara, atau teman-teman lama kami. Istriku belum tidur, terhitung dua puluh delapan jam lamanya sejak bangun dari samping ranjang paviliun tempatku berbaring selama empat bulan. Aku suka tidur-tiduran, tapi jika kau melakukannya empat bulan penuh, punggungmu rasanya tak karuan. Delapan jam yang lalu, saat istriku dan dua orang suster memandikan jasadku, aku bisa melihat luka mengelupas di punggungku. Pantas saja, dengan berat badanku yang semakin menurun akhir-akhir ini, rasanya punggungku hanya diisi tulang belakang dan berjubah kulit tanpa daging satu gram pun.

Tujuh jam yang lalu, aku melihat jasadku sudah mengenakan setelan jas mahal (baru) yang selama hidup aku tak pernah memakainya. Setelan jas yang aku punya terakhir kugunakan saat aku menghadiri pesta pernikahan adikku, lima tahun yang lalu. Tentu, ukuran jas baru ini lebih kecil dibanding setelan yang aku punya. Semenjak tubuhku menyusut, semua pakaian yang kukenakan membuatku seperti para rapper pesisir barat Amerika tahun 90-an. Begitu selesai dimandikan, kumis dan janggutku dirapikan, dicukur habis dengan telaten oleh suster senior menggunakan pisau silet yang diiklankan David Beckham. Suster junior mengolesi permukaan wajahku dengan bedak tipis. Ah, jadi ingat masa kecil di mana sehabis mandi aku tidak boleh main ke luar rumah kalau sudah diberi bedak. Tak luput, bibirku diberi sentuhan lipstik tipis berwarna natural supaya tidak pucat.

Enam jam yang lalu, mobil jenazah dari rumah duka tiba. Aku mengamati peti seperti apa yang istriku siapkan untukku. Satu, dua, tiga! Para petugas memberi aba-aba saat menurunkan peti dari mobil jenazah. Peti itu sepertinya tidak murah. Dari ilmu perkayuan yang aku dapat saat berbisnis mebel di awal 2000-an, aku bisa menyimpulkan kalau petiku terbuat dari jati Belanda tua yang terbukti awet, juga tahan cuaca dan hama. Warnanya hitam pekat dengan sentuhan kilau yang menyenangkan seperti sebuah grand piano. Yang aku suka darinya adalah ukiran ornamen yang tidak berlebihan, tapi elegan. Aku tidak suka ukiran floral atau potret suatu kisah di kitab suci. Untungnya istriku tahu seleraku, ia memilih ukiran bergaris tipis dengan tambahan kutipan Marquez, "Make no mistake: peaceful madmen are ahead of the future." Humor rendahan seperti ini jadi salah satu dari sejuta alasan aku mencintai istriku.

Jasadku sudah dimasukkan ke peti. Tiga orang petugas menggotongnya dari kamar pemandian ke dalam ruang kayu sempit beralas beludru putih gading yang sepertinya empuk. Tutup peti disiapkan. Para tetangga yang datang jauh-jauh ke rumah sakit berebut melihatku di dalam peti. Mungkin mereka tidak benar-benar percaya kabar kematianku sampai menyaksikanku terbujur tak bernapas. Begitu tutup peti dipasang dan mur-murnya dikencangkan, mereka memalingkan muka dan berbisik satu sama lain. Sesekali berbasa-basi dengan anakku, "Wah gantengnya bapakmu habis dimandikan," atau "Jam berapa tadi?" atau "Jadi bapak sakit apa?" dan sebagainya.

Pukul empat pagi, tepat lima jam yang lalu jasadku tiba di rumah duka. Hanya butuh waktu 10 menit untuk berkendara dari rumah sakit ke rumah duka. Maklum, jalanan sepi dan pak supir adalah mantan supir bak sayur. Begitu tiba, aku baru tahu ternyata rumah duka tidak seseram yang aku bayangkan. Banyak kucing di sini. Mungkin itu yang membuatnya tidak seram, hehe.

Ruangan tempat jasadku dibaringkan cukup besar untuk menampung 200 pelayat. Terdapat belasan meja panjang yang di atasnya telah siap dua belah piring berisi permen mint berbagai merk. Lengkap dengan dekorasi bunga seruni dan kain serba putih. Juga tiga buah foto setengah badan saat aku masih berlemak  dan berperut buncit  dengan pigura hitam dan latar belakang biru tua, kontras dengan dekorasinya. Di pintu penyambutan, istriku cukup telaten menyiapkan foto-foto saat aku balita, remaja, hingga beberapa bulan sebelum aku mati. Ia menyusunnya bak pameran foto seorang tokoh pop. Sepertinya ia kadung memprediksi kematianku dari cukup lama dan telah mempersiapkan semuanya begitu saatnya tiba.

Empat jam yang lalu, aku terbaring sendirian di rumah duka. Semua orang, baik yang kukenal maupun tidak, sudah kembali ke rumah masing-masing. Barangkali untuk mempersiapkan upacara peringatanku nanti. Ya sudah, apa salahnya orang mati ikut beristirahat? Tolong seseorang bangunkan aku jam 7 nanti.

Eh sialan. Aku kan sudah mati. Gimana ya cara tidur untuk orang mati? Kenapa belum ada buku yang mengulasnya? Pengalaman mati pertama ini sungguh membingungkan. Hmm baiklah. Aku sempat luntang-lantung, tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membabat waktu. Apa ikut pulang ke rumah saja dan melihat keadaan keluargaku? Tapi karena kupikir akan membosankan  dan siapa tahu anakku bisa melihat hantu, jadi mungkin bakal menakutinya  aku memutuskan untuk bermain kucing saja sampai upacaranya berlangsung.

Satu jam lamanya aku bermain kucing. Ternyata betul kata orang, kucing bisa melihat hantu. Mereka memahamiku seperti mereka memahami manusia hidup. Tapi tidak juga sih. Setelah kupikir lagi, mereka lebih tertarik pada jiwa yang sudah mati. Aku bisa menggiring mereka sesuka hati tanpa harus susah payah menarik perhatian mereka, memanggil pus pus seperti waktu aku masih hidup, atau menggerak-gerakkan lidi di tanah. Sekarang, cukup menatap dan membatin saja mereka langsung menurut. Asyiknya.

Sudah pukul enam. Deretan mobil pengangkut kiriman karangan bunga memenuhi lahan parkir. Mereka menurunkan pesanan dengan namaku tercantum di papan, lalu menatanya sambil lalu layaknya profesional. Membujur dari utara ke selatan, aku bisa membaca nama-nama familiar dan ucapan duka yang repetitif untukku. Bersama dengan itu satu per satu keluarga datang ke rumah duka. Istriku mengenakan gaun batik hitam yang kami beli di Pekalongan tahun lalu. Kami sengaja pilih ukuran besar, siapa tahu bisa dipakai untuk acara penting waktu menginjak hamil tua. Anakku, seperti biasa, salah kostum dengan kemeja Avengers kebanggaannya. Suka-suka dia saja lah.

Mereka berdua berdiri di pintu masuk sambil menyalami kawan yang datang mengunjungiku. Ungkapan simpatik yang tabah, yang ikhlas, dan yang kuat ya Mbak bertubi-tubi disampaikan. Entah buat istriku, buatku yang mati saja sudah terdengar klise dan membosankan. Tapi tak ada salahnya berterima kasih. Aku berdiri di samping istriku sambil mengingat-ingat nama orang yang datang. Aku merekoleksi kenangan yang timbul dari orang-orang itu. Setiap individunya menggugah kenangan yang berbeda. Teman dari masa yang satu dan masa yang lain. Beribu pengalaman bodoh, menyesakkan, dan menggelitik tawa muncul bersamaan seperti nyala ribuan lilin di peringatan tahunan korban teror Paris. Ternyata temanku banyak juga ya. Aku bangga.

Sejam yang lalu aku berjalan menengok jasadku sendiri. Berdesakan dengan orang-orang yang mendoakanku di samping peti mati, aku bisa merasakan pembusukan tubuhku yang memulai prosesnya. Sendi-sendi tubuhku mulai kaku perlahan, sama seperti dingin yang menjalar dari kaki sebelum aku mati tadi. Aku bisa mencium bau yang berbeda dari jasadku yang mulai mengeluarkan cairan kuning dari lubang telinga. Juga rona merah yang memudar dari permukaan kulitku. Aku terlihat pucat. Jiwaku terasa dingin, bergetar, dan sendirian. Dadaku sesak. Bersama orang-orang terdekat yang sedang mendoakanku, tangisku meledak. Aku belum siap melihat jasadku menyatu dengan bumi. Aku terbang menarik diri dari ruangan nestapa itu. Suara sayup sembahyang yang dikirimkan padaku kian keras dan menyesaki telingaku. Kalimat-kalimat permohonan yang terus diulang mengganggu ratapanku. Aku menjauh sejauh-jauhnya. Aku pergi. Terasing. Dan menghilang.

Di detik ini, aku masih melamun di puncak sebuah gedung di kota yang tak kukenal. Kupikir sepertinya peti sudah ditimbun tanah dan nisan sudah terpasang. Suara-suara berisik kembali mereda. Aku cuma mengenali satu suara, milik istriku. Bicaranya serak, nadanya rendah. Tanpa menangis, ia mendoakanku ketenangan, supaya bisa ikhlas tanpa melihat ke belakang. Supaya tak menahan langkahku, supaya tak menunggunya, supaya tak mengejarnya. Setelah empat bulan lamanya aku tak sadarkan diri, ia telah belajar sesuatu yang selama ini aku tak bisa menirunya. Empat bulan lamanya aku melawan apa yang menggerogotiku. Empat bulan lamanya ia telah berikhlas. Tidak adil rasanya. Sementara aku ingin mengajaknya. Ingin bersamanya. Tapi apalah, apa kuasaku untuk tak mengikhlaskan yang telah berikhlas?

Jadi, empat puluh hari lagi ya? 

***

Selamat jalan, Bapak.

Listening to: The Carpenters - Yesterday Once More

Thursday, February 14, 2019

Es Kopi Susu



Mobil-mobil polisi, cahaya merah-biru, dan aspal malam yang basah. Aku terbangun, sirine ninu-ninu menggema hingga kamarmu.
Langkah sepatu bot, berderap riuh mengetuk lantai kayu. Kelinci-kelinci di lorong kabur dari kandang. Bermain-main dengan kotak sepatu.
Asap mengepul tinggi, api sampai di lantai tiga. Dan dia mengetuk pintu. “Halo, apa ada orang?”
Dia mengintip dari lubang di dinding.
Aku tak menjawab.
Dokter menyobek secuil kulitmu, mengambil yang ada di dalam secukupnya, lalu menjahitnya perlahan dengan benang bening tipis mengilap. Ia mengenakan setelan blus berenda hitam sedikit transparan yang bersembunyi di balik jas putihnya. Matamu mengikuti gerakan jarinya, lembut.
“Halo?”
Es kopi susu yang ia pesan untuk kita mulai mengembun. Titik demi titik air mengalir ke dasar gelas plastik. Meja berlapis kaca hitam, basah. Aku mengambil satu gelas, meninggalkan genangan air melingkar. Menenggaknya barbar, tenggorokanku yang kerontang seperti tambang tembaga di Gurun Atacama yang tiba-tiba dilanda banjir bandang hasil hujan deras sepuluh hari di Chile. Polisi mengetuk lagi.
Percuma berpura-pura, menyerah saja lah. Kami banyak di depan,” serunya.
Aku tetap diam. Kau berteriak.
“Apa itu?” katanya, diiringi suara senapan dikokang.
Telunjuk kurus si dokter mendarat di kotak tisu kering. Mengambil selembar, mengolesnya ke sekujur tangan, setelah habis mencuci. Masker sudah dibuka, operasi telah selesai. Ia memiliki mata besar di balik kacamata tebalnya. Kulitnya putih terawat, dengan senyum menipu dan pipi yang merah tanpa bubuk perona. Barangkali ia rajin ke klinik kesehatan kulit. Yah, namanya juga dokter.
Sebuah pesan masuk ke ponselmu. Notifikasi hijau dari grup yang tak begitu penting buatmu, berisi tautan asing dengan utm ig_profile_share dikirim oleh teman sebangku. Kau menekannya.
“He could only consider me as the living corpse of a would-be suicide, a person dead to shame, an idiot ghost.”
Laman Pinterest dengan ajakan untuk bergabung, kau menekan tanda X di ujung kanan atas. Kutipan Dazai tersemat di gambar langit malam bertabur bintang, dengan huruf jenis Helvetica putih tergores tegas.
“Kuhitung sampai tiga atau kami terpaksa masuk,” teriak si polisi. Gesekan jaket kulit yang ia kenakan terdengar sampai kamarmu. Gerakan-gerakan kecil ia buat, peluh mulai membasahi dahinya, tegang.
Kau meraih remot dan menyalakan tv. Saluran berita menyiarkan langsung pemusnahan sarang tawon berdiameter satu meter di Magetan, Jawa Timur, dengan melibatkan Dinas BPBD setempat. Karena struktur rumah terbuat dari kayu, kami tidak memakai api, kata kepala satuan, melainkan tembakan air yang dimodifikasi dengan pestisida.
Kau menguap, mengganti ke saluran lain.
“Satu…”
Persiapan debat pemilihan presiden republik ini telah dimulai. Dua pasang calon diwawancarai. Wartawati muda nan berani menembakkan pertanyaan yang ditangkis dengan jawaban-jawaban diplomatis yang tak inovatif.
“Dua…”
Si dokter mengatupkan tangan. Dagunya maju sedikit, menelengkan kepalanya miring ke kiri. Ia mengangguk kecil, lalu bergumam, “Kalian pilih yang mana?”
“Tiga!”
Kau menggeleng lemah. Keduanya tak menarik bagimu. Petahana kurang memuaskanmu, dan oposisi tak kunjung membawa angin baru.
“Ayolah, sampai kapan propaganda tai kucing meracunimu? Golongan putih-golongan putih sepertimu tak bakal bisa puas sampai kapanpun,” serangnya.
Pintu didobrak, kapten polisi berhasil masuk tanpa hambatan. Tiga orang lainnya bergegas maju melindunginya — barangkali ada kejutan. Ruangan itu hanya menyisakan sebuah ranjang, dua buah kursi bakso dengan cat mulai luntur, lampu meja yang redup, dan perangkat televisi tabung yang menampilkan siaran langsung debat pemilihan presiden.
Aku menyeruput sisa es kopi susu, menghabiskannya.
“Minum es kopi susu itu baik agar kau tak cepat mati, setidaknya begitu sih hasil Konvensi Asosiasi Kopi Pantai Pasifik Ke-88 di Coronado tahun lalu. Tetap tidak diminum? Baiklah kalau begitu. Aku segera bilang penjaga untuk dibukakan. Kalian membosankan, aku tak sabar keluar dari ruangan busuk ini,” keluhnya sambil menenteng dua potong lidah, dua ponsel kita, dan sisa benang jahit yang tak terpakai pada operasi kali ini.
Kau mengabaikannya, meski kau tahu ucapan dokter itu betul adanya. Aku menyodorkan satu gelas padamu, tapi kau menolaknya. Pasrah saja lah. Kita bisa apa, tanyaku padamu dalam hati.
“Ketemu! Mereka di kamar mandi. Jerat mereka dan bawa seperti yang lain,” seru sang kapten di tengah api yang mulai menjalar ke lantai empat. “Beri tahu si dokter jangan pulang dulu. Operasi belum selesai, masih banyak lidah untuk malam ini. Uhuk.”
Aku merebut remot tv darimu dan mengganti salurannya. Pemilihan presiden tinggal sebulan lagi. Dan malam itu, bertambah lagi anggota kamarmu yang gelap berjeruji.

***

Listening to: Ego Wrappin - Inbetweenies