Sunday, September 17, 2017

Kue Lapis


Tak seperti nadi yang bisa digurat, memori tak bisa ditipu begitu saja. Ia terus memburumu, bahkan saat ragamu dan tanah nenek moyangmu lama menyatu.

Kali pertama tatapannya menyihirku adalah saat aku sedang antre membayar tagihan di kasir, aku untuk game online, dan ia untuk voucher akses internet. Sorot matanya yang sayu membuntutiku hingga ke kasur kamarku. Memori itu terus berulang. Berakhir saat terlelap, lalu dimulai lagi begitu terbangun, rautnya lah yang selalu mengganggu rasa penasaranku. 

Hingga siang itu, aku sadar itu bukan kali pertama aku melihatnya. Aku pernah melihatnya di bus. Kalau tidak salah, tinggal aku, dia, dan supir saat bus jalur nomor dua melaju kencang ke selatan. Gadis itu turun lebih dulu, sekitar satu kilometer dari tempatku biasanya turun. Sekilas aku melihat wajahnya, rupa murung tapi entah bagaimana tetap bersinar merebut fokus mataku. Bodoh sekali, pikirku, aku tak menyadari kehadirannya sepanjang perjalananku meski aku duduk di jok paling belakang. Begitu ia turun, langkahnya tertuju pada sebuah gang yang hanya muat untuk satu kendaraan roda empat. Naluriku memaksaku mengingat huruf-huruf yang menggantung di atas gapura gang, tapi bus keburu melaju kejar setoran.

***

Aku menghabiskan empat jam sehari di warnet itu. Salah satu sisinya dijejali para pemain game online, dan sisi lainnya untuk mengakses internet. Kebanyakan pengunjungnya adalah remaja-remaja tanggung yang kebingungan menghabiskan energi berlebih mereka begitu bel pulang sekolah berbunyi. Bak pembatas di masjid-masjid, loket kasir itu seakan memisahkan anak laki-laki di ruang game dan perempuan di area akses internet. Biasanya saat membayar tagihan lah, laki-laki dan perempuan dapat berjalan beriringan di tempat yang sama.

Saat mengantre, aku menggali ingatanku tentang rupa gadis murung. Sambil memandangi wajah sampingnya, kutemukan berbagai kecocokan dengan penggalan-penggalan ingatan yang sudah lama berlalu—rambutnya pendek sebahu, poninya tanggung hingga tak sampai menutup alis dan telinganya, matanya sipit saat tersenyum, hidungnya tidak pesek maupun mancung, bibirnya tipis juga sedikit lebar. Perpaduan gerakan bibir dan matanya dapat sekejap mengubah raut murungnya menjadi riang. Hal itu kulihat setiap ia balas menyapa kenalan yang lebih dulu menyapanya. Ia juga mengenakan seragam sekolah (rival sekolahku) yang sama seperti saat kulihat dia di bus. Segenap aktivitas pemanggilan kembali informasi itu membuat tatapanku kosong dan meninggalkan mulutku yang masih menganga. Tak sadarkan diri, terbuai paras beningnya. Begitu ia menoleh ke arahku, aku membuang mukaku dan diam-diam mengarahkan pandanganku ke bordir nama yang tersemat di seragam sekolah yang ia kenakan. "Tamara Pramodharanindra."

Tak butuh waktu lama untuk menggali informasi pribadinya. Mesin pencari saat itu belum canggih-canggih amat, meski begitu, hanya butuh dua detik untuk mengetahui bahwa Nora, teman dekatku, ternyata teman dekatnya juga. Singkat cerita, Nora mempertemukan kami di sebuah kafe. Ia langsung pulang begitu kami berdua selesai memesan minum. Nora keparat. Betul-betul jebakan yang menyenangkan. Kuurungkan niatku membahas temanku itu lebih jauh. Selain jebakan pengubah sejarah itu, tak ada yang spesial dari pertemuan pertama. Yang kuingat, seluruh informasi yang kukumpulkan tak membuat gugupku berkurang sedikitpun.

Ia menarik tangan kananku kemudian menjepitkan kedua tangannya di kedua sisi tanganku, "Lihat, kue lapis."

"Sialan."

"Padahal, kau mengaku jarang keluar rumah, tapi kulitmu sehitam babi hutan yang kelamaan nongkrong dekat api unggun."

Begitulah, aku memang lebih suka mengurung diri di satu tempat. Bukan berarti aku anti sosial, aku hanya malas menjelajahi tempat-tempat baru—atau berkenalan dengan orang baru—di mana remaja seusiaku silih berganti menggandrungi satu tempat lalu dua bulan berikutnya pindah ke tempat lainnya. Saat itu, aku masih tinggal di rumah nenekku karena orang tuaku sedang dinas di luar kota. Hal ini cukup membantuku, terutama karena nenekku lumayan konvensional, ia memaksaku belajar hingga jam sembilan malam, lalu menyuruhku tidur sejenak kemudian. Hasilnya, nilai ujianku cukup memuaskan meski aku sering bolos untuk bermain game online.

"Ngomong-ngomong, orang tuaku membekaliku kue lapis tiap hari. Kapan-kapan kau harus coba."

"Boleh," jawabku girang. Dengan bilang kapan-kapan, berarti akan ada pertemuan selanjutnya.

Tamara setahun lebih muda dariku. Ia penggemar Emily Davison, pejuang hak-hak perempuan generasi pertama, ujarnya. Konon, wanita Inggris itu menabrakkan diri pada kuda balap milik raja untuk memprotes tak kunjung diberikannya hak berpolitik perempuan. Kami ngobrol banyak soal Davison di kafe. Obrolan kami tampak begitu hidup, meski aku terlihat seperti penonton pertunjukan wayang yang duduk manis mendengarkan dalang asyik bercakap menggunakan berbagai macam tokoh.

"Kau tahu, Emily nggak langsung meninggal."

"Sebutannya tetap martir."

"Bisa dibilang begitu. Toh lima belas tahun berikutnya perempuan Inggris boleh ikut pemilihan."

***

Sebulan berlalu, kami semakin sering bertemu dan mulai bertukar informasi soal hal-hal pribadi. Tamara tampak bersemangat menceritakan masa kecilnya. Dahulu, orang tuanya secara berkala bertukar peran dalam mengasuh anak. Ibunya mengelola gedung bioskop kecil—kerap disulap menjadi gedung teater atau bahkan tempat diskusi dadakan—yang hanya dibuka untuk komunitas tertentu. Namun, karena terbatasnya tempat-tempat diskusi di kota ini, gedung itu tak pernah sepi agenda. Begitu mulai jenuh, ia memutuskan untuk istirahat tiga bulan dan memasrahkannya kepada partner bisnisnya, kemudian tinggal di rumah mengasuh Tamara. Setelah puas, ia kembali bekerja dan giliran suaminya yang banyak di rumah. Ayah Tamara seorang pengajar arkeologi. Menjadi sekadar pengajar saja di universitas tentu tak memakan banyak waktu, kecuali kau sedang mengerjakan proyek penelitian. Karenanya, ia harus bisa memanfaatkan tiga bulan—jatah fokus bekerja sesuai kontrak perkawinannya—yang ia miliki untuk menyelesaikan penelitiannya sebaik mungkin. Di samping itu, ayah Tamara juga maniak sejarah. "Cuma soal Mataram Kuno, itu pun terbatas soal Wangsa Syailendra," jelas Tamara. Nama Pramodharanindra adalah pemberian ayahnya, gabungan dari Pramodawardhani, ratu Mataram Kuno yang diperistri Rakai Pikatan kemudian bersama menaklukkan Balaputradewa sebelum ia mendirikan Sriwijaya, dan pendahulunya, Dharanindra, raja yang diperkirakan memulai pembangunan Candi Borobudur dan memperluas kekuasaan Mataram hingga sebagian Indocina. Nama adalah harapan, maka nama yang berat diiringi beban yang berat pula. Meski begitu, Tamara tak terlalu memikirkannya, baginya nama hanyalah sebuah sebutan untuk membedakan manusia dengan manusia yang lain.

"Pramodawardhani lah yang merampungkan Borobudur. Bahkan, ia juga membebaskan pajak beberapa desa supaya warga mau ikut merawatnya. Monarki boleh, adil harus," kekeh Tamara memuji asal-usul namanya.

"Bisa simpan ceritanya lain kali? Kue lapismu ini enak sekali," kataku sambil mengunyah kue lapis pemberian Tamara.

"Kau memang tak suka dengar ceritaku ya?"

Mendadak raut murung yang sebulan terakhir tak kujumpai kembali menghiasi wajahnya. Aku menanyakan sebabnya, tapi ia malah menunduk dan terdiam. Akhirnya ia memberanikan diri buka mulut.

"Belakangan ini, aku merasa sedang dikuntit seseorang."

Mulutku sedang asyik memamah kue lapis dan hampir tersedak saat mendengarnya. Aku buru-buru menelannya bulat-bulat. "Lalu?"

Semua bermula saat ayahnya terlibat penelitian penting. Setahu dia, penelitian ini ada hubungannya dengan penemuan yang bikin geger baru-baru ini. Penemuan dua prasasti kuno di kawasan pembangunan bandara baru kota kami. Dua prasasti itu ditulis dalam bahasa Sansekerta. Sebagai ahli arkeologi yang punya ketertarikan khusus soal Mataram Kuno, ayahnya ditunjuk untuk menyelidiki isi dua bongkah batu tersebut, dan menuturkan faedah yang bisa diambil untuk pembangunan bandara kali ini. Yang pertama diperkirakan dari abad kedelapan, yang lain abad kesembilan. Keduanya belum dinamakan, tapi kurang lebih isinya mengenai pembangunan tempat pemujaan terbesar Mataram Kuno, di pesisir selatan Laut Jawa.  Di prasasti pertama tertulis bagaimana candi raksasa mulai dibangun. Kurang lebih isinya begini,

"Ratusan petak hutan, kebun, dan segelintir rumah milik penduduk yang tak sudi mendukung pemuliaan mesti dibabat habis. Tiada yang lebih utama dari sumbangsih kaum manusia pada yang maha pemberi. Pengampunan diberikan pada mereka yang mau patuh, dengan membabat alas yang terlampau liar, memindahkan batu-batu raksasa, membuat ukiran-ukiran, atau membentuk arca-arca. Tanpa cambuk yang diayunkan, tanpa pedang yang dihunuskan. Sementara pengorbanan dibebankan pada mereka yang menolak tunduk, dengan daun-daun telinga, bola-bola mata, potongan-potongan lidah."

Prasasti yang kedua menceritakan akhir dari kisah pembangunan candi.

"Lima dasawarsa berlalu tanpa sejengkal purnama. Satu undak tersisa dan maha pemberi akan mengampuni. Cakrawala terlalu malu dan bersembunyi di balik selimutnya. Belum saatnya gelap, sang buyut enggan menerima puja dan sesembahan. Mengambil apa yang diberikan, memberi yang tak diinginkan. Saat mereka yang tak tampak menyapa dari seberang, kami pontang panting berlarian. Mereka datang. Mereka datang."

"Sebentar, hubungannya sama dikuntit?" tanyaku keheranan.

"Begini, kau tahu kan ibuku mengelola bioskop?"

"Ya, terus?"

"Setiap malam sebelum ditutup, bioskop selalu diperiksa ulang, untuk perawatan. Nah belakangan, proyektor film yang ada di bioskop jadi sering kotor. Semacam, menembakkan burik kemerahan ke pusat layar. Layarnya sih normal-normal saja. Saat dicoba putar film, bagian-bagian tertentu jadi tak terlihat. Posisinya acak, tapi bentuknya selalu sama. Tentu mengganggu, kan?"

Aku mengangguk mengiyakan.

Tamara menjelaskan seraya mengulungkan sebuah foto burik yang dimaksud. Burik itu aneh, sulit mendeskripsikannya. Seperti bekas lipatan sprei yang menempel di pipimu saat bangun tidur. Seperti lelehan putih telur di wajan yang terpisah dari intinya. Seperti darah yang terpercik di tampon saat haid hari terakhirmu. Pilih saja sesukamu.

"Ibuku sudah komplain, tapi ternyata semua komunitas screening mengaku tak memakai proyektor yang kotor itu. Mereka pakai proyektor cadangan yang gambarnya tak terlalu bagus. Karena tak percaya, ibuku memeriksa rekaman cctv di ruang proyektor. Tapi ternyata betul, mereka tak memakainya. Kotor dari sebelum pakai, kata mereka. Padahal begitu kotor langsung dibersihkan, lho. Lagipula anggota komunitas itu juga tak tahu cara membersihkannya, sih," lanjut Tamara.

Aku mengambil sepotong kue lapis lagi.

"Karena kotor lagi kotor lagi, ibuku kudu mengelapnya berulang-ulang, bikin dia pulang malam. Setelahnya, pas ibuku mau pulang, telepon kantornya berdering. Lalu ya begitu, tak ada seorangpun yang menjawab, cuma orang iseng. Sesampainya di rumah ternyata ayahku juga cerita mengalami hal yang sama—telepon iseng. Anehnya, si penelepon cuma iseng telepon ke nomor kantor mereka. Ponsel dan telepon rumah aman."

"Jadi, ini siapa sih yang dikuntit?"

"Aku belum selesai. Beberapa hari terakhir, sehabis istirahat kedua, aku dipanggil ke ruang TU. Ada telepon, katanya. Begitu kuangkat, sama seperti orang tuaku, tak ada yang menjawab. Aku sampai pesan ke petugas TU kalau ada telepon lagi buatku, diamkan saja. Aku merinding tak habis pikir. Kok aku kena juga?"

"Goblok."

Aku bergidik.

***

Hubungan kami hanya bertahan tujuh bulan. Ia memintaku putus karena mengaku ingin fokus pada ujian sekolahnya—ia memang rajin, lagi cerdas. Bertahun-tahun berlalu, kini aku sudah cukup dewasa dan tinggal di pucuk timur nusantara. Konon pembangunan bandara di kota kelahiranku sempat mandeg lama. Serangkaian isu mulai dari pembebasan lahan, besarnya potensi bencana, duit yang dikorupsi, hingga kasus hilangnya tokoh-tokoh penting yang menentang pembangunan bandara itu bertubi-tubi menghantam prosesnya.

Kebetulan, aku sedang pulang kampung dan—seperti makhluk sosial pada umumnya—memamerkan kepulanganku lewat instastory. Sebuah notifikasi pesan muncul dari layar ponselku. Nora, temanku yang mengenalkanku pada Tamara, mengajakku bertemu. Ia baru saja kembali dari studinya di Australia dan barangkali sedang menganggur. Kami ngobrol tak tentu arah macam bapak-bapak eks begundal saat masih bujang, bertukar nostalgia yang itu-itu saja, tak ada habisnya. Sudah barang tentu, Tamara tak meleset dari topik pembicaraan.

"Begitu ya, jadi sampai sekarang jasadnya belum ketemu," gumam Nora.

"Sekalipun, aku masih belum lepas, lho."

"Lemah."

"Bukan, seperti yang kubilang, bayangan Tamara sering muncul tiba-tiba. Bayangan yang sama. Tak ada lagi raut murungnya. Tak ada lagi mata sayunya. Tak tampak lagi daun telinganya. Tak terdengar lagi kecap bibirnya. Tak ada lagi sinarnya."

"Ngeri anjing."

"Mau gimana lagi, memori mempermainkanku. Tiap ia muncul, mulutnya menganga kecil. Seolah mau bilang sesuatu. Tangannya melambai lemah. Belum sempat bersuara, pudar sukmanya ditelan sadarku."

"Sepandai-pandai kau mengecoh, memori tak tertipu semudah itu."

Tiga bulan sebelum bandara itu beroperasi, polisi mengumumkan penemuan puluhan tulang belulang manusia yang hanyut terdampar di pesisir selatan Jawa. Perkiraan usia kematian mereka tak lebih dari sepuluh tahun. Hanya sedikit yang bisa diotopsi, termasuk beberapa tengkorak yang telah menguning, lengkap dengan recak yang sangat familiar. Sulit mendeskripsikan bentuknya. Seperti bekas lipatan sprei yang menempel di pipimu saat bangun tidur. Seperti lelehan putih telur di wajan yang terpisah dari intinya. Seperti darah yang terpercik di tampon saat haid hari terakhirmu. Pilih saja sesukamu.

Sontak, aku menjatuhkan kue lapisku.

***

Listening to : Joey Bada$$ - Hazeus View