Wednesday, June 7, 2017

Ah, Bapak Juga Udud...


Kami berempat dikumpulkan dalam satu ruangan.

Berdiri di sebelah kananku, seorang pria menggendong anaknya yang masih bayi. Sekilas, penampilan mereka biasa saja : sang ayah mengenakan kaos abu-abu polos dan anaknya memakai sweatshirt putih dengan pola gambar-gambar bertema iptek seperti roket atau pesawat ulang alik. Pakaian sang anak agak kedodoran sehingga harus dilipat tiga kali pada bagian lengannya. Diam-diam, kutengok nama yang terpampang di name tag si ayah. Namanya panjang, sampai mesti disusun dua baris atas-bawah. Tulisannya sudah pudar, jadi hanya sedikit yang bisa kubaca : ky di akhir bagian atas dan ke di akhir bagian bawah. Tak mau repot-repot, kupanggil saja dia KyKe. 

KyKe mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Ayah muda ini terlihat trendi saat merokok, terutama saat asap putih tebal mengepul hingga menutupi separuh wajahnya. Saat aku menengok, yang terlihat hanyalah kepulan asap dan sepucuk rambut jambul yang tak kalah nyentrik dibanding gelang Bali yang dipakai anaknya. Kilau mata KyKe angkuh sekali, ia tak segan merokok meski sedang menggendong anaknya. Setahuku, merokok dekat anak berbahaya bagi mereka. Kulihat peringatan itu di mana-mana. Namun seketika itu, aku hanya diam saja.

Di sebelah kiriku berdiri pria paruh baya, lebih tua lima tahun dari KyKe sepertinya. Tatapan matanya dalam, ia pasti sedang berpikir bagaimana caranya berurusan dengan penemuan tak biasa ini. Lagaknya sok jagoan, pikirku. Bagaimana tidak? Malam-malam begini dia bangga sekali pamer lekuk bodi di kuburan. Tanpa sehelai sutra pun yang melekat, dengan percaya diri ia menyalakan sebatang rokok. 

Dihisapnya dalam-dalam rokok tersebut sambil membayangkan skenario awal terjadinya peristiwa ini. Baru pada hisapan kedua, dimensi sirep mulai membawanya jatuh lebih dalam. Terlebih dahulu ia memaparkan, ritualnya akan dimulai dengan memejamkan mata. Kalau sudah begini, ia bakal diam sejenak selama semenit. Lalu saat matanya tiba-tiba melotot nanti, ia akan menyalak kasar sebagai pertanda ia sudah kembali sadar. Tak ada yang tau apa yang dilakukannya di dalam sana. Sebelum menyalakan rokok dan memulai ritualnya, ia sempat peringatkan kami agar tak perlu khawatir jika ia "pergi tidur" nanti. Ia bilang, dalam gelap dunianya, ia berusaha mencari petuah pada arwah leluhurnya soal matinya Pak Surya. 

Tak lama kemudian..

"Kau unta ungu mandul!!" serunya pertanda ritual selesai. Matanya terbelalak seakan tahu sesuatu. Kami mencoba tidak kaget merespon aksinya. "Barusan aku diberitahu Ki dan Nyi Boro, kalau Pak Surya ini sudah mati tiga hari lamanya."

"Pantas saja. Minggu lalu aku berpapasan dengannya di dekat rel yang agak menikung itu, kau tahu kan? Ia batuk hebat, keras sekali, berulang-kali. Aku sempat menyapa tapi ia tak bisa dengar karenanya," ujar Sam yang berada di seberangku.

Sam adalah yang termuda di antara kami. Dengan tubuh semampai dan kulit seputih riak yang kau keluarkan dari tenggorokanmu saat batuk berdahak, tak heran ia jadi favorit kebanyakan orang. Selain itu, ia pribadi yang optimis. Ia dikenal sebagai orang yang tak suka basi-basi serta selalu maju terus jika ada kesempatan apapun terbuka baginya. Meski begitu, sosoknya juga tak sempurna. Sam sempat berbisik pada KyKe, ia kadang merasa tak percaya diri dengan penampilannya, terutama pada bagian bibir yang menurutnya adalah malapetaka. Bibirnya memang mengerikan. Bibir atasnya kering dan kusam tak berona sedangkan bibir bawahnya bengkak-bengkak. Bekas luka kehitaman yang sudah kering tapi dipaksa untuk selalu basah turut menghiasinya pula. Pada bagian tengah bibir bawahnya, menyembul benjolan besar dengan nanah yang menetes sesekali jika pecah. Di sekitarnya, terukir guratan-guratan halus yang sama keringnya, bak menunggu giliran untuk ikut pecah di kemudian hari. Mengenai ucapan Sam atau segenap keluh kesahnya, aku hanya diam saja.

"Lalu bagaimana? Apa tidak sebaiknya kita pindahkan dia sebelum tempat ini tutup lima menit lagi?" KyKe panik.

Tubuh Pak Surya terkulai tak berdaya seperti jasad seorang anonim di ruang otopsi yang tak dirindukan keluarganya. Eh tunggu, ketika kami melentangkan badannya yang masih tengkurap, raga Pak Surya memang nampak seperti jasad anonim di ruang otopsi! Sontak kami berempat terpelanting ke belakang. Menjijikkan, dada Pak Surya mengaga lebar seperti sepatu Converse All-Star yang lima tahun dipakai bermain sepak bola tanpa jeda. 

Dada Pak Surya disobek membujur dari pangkal leher hingga pengujung diafragma. Kau bisa lihat berbagai macam jeroan yang tak dapat kau temui di pasar pagi : paru-paru yang teramat pekat, jantung kering tak berdarah yang terlanjur kaku kekuningan, atau potongan kulit sawo matang berceceran. Potongan itu, masih menyatu dengan daging yang tak lagi segar di langit-langit tenggorokan. Semua lengkap, kecuali tulang-tulang rusuk yang hilang dari tempatnya.

Sam muntah, banyak sekali. Saat ia menoleh, kuperhatikan sisa-sisa muntahan yang masih menetes dari mulutnya makin memperbusuk bibir busuknya lebih busuk lagi. 

KyKe menutup mata bayinya, takut wujud naas Pak Surya dan penampakan bibir Sam menjadi memori pertamanya. 

Pria telanjang yang mengaku titisan Ki dan Nyi Boro menyalak, "Biji sukun!! Demi Sang Hyang Sangkan Paran, ini di luar kendaliku! Dasar kucing erotis otak kutu, siapa pula yang tega membelek dada seorang penjaga gudang tua? Biadab!"

Aku bergeming, tak bersuara. Kutukan apapun yang kumuntahkan juga akan percuma, toh segala makianku hanya akan berbuah diam, seberapa kuatnya aku berseru.

Sambil terengah-engah, Sam meneriakiku, "Hei Arum! Andai tenggorokanmu belum bolong seperti sekarang, kira-kira serapah apa yang bakal kau teriakkan?"

Aku mengeja jawabanku sebisanya menggunakan sandi tangan.......


*

Listening to : Anri - Dancing Blue