Sunday, May 14, 2017

Makanan Pedas (Kecuali Seblak) dan Situs Perjodohan Online


Aku pertama kali mengenalnya lewat situs perjodohan online. Awalnya aku hanya ingin mencari teman makan, sampai kutulis itu di biografi singkat yang tertera di profilku. "Mencari teman makan. Bukan makan seafood, termasuk ikan air tawar. Lebih disukai jika suka makanan pedas (kecuali seblak), atau berkuah, dan bermecin." Hasilnya lumayan juga. Cocoknya selera makanan memang kadang sejalan dengan selera humor. 

Lori misalnya. Kami makan ayam geprek dengan kuah tongseng pada satu waktu. Ia sosok perempuan muda kekinian yang terlampau nasionalis. Kudengar semua kata sandi akun media sosialnya, terutama yang mengharuskan kombinasi angka, huruf, dan huruf besar, berisi tanggal hari-hari peringatan nasional, seperti hari kemerdekaan, sumpah pemuda, hingga kesaktian pancasila. Ia penggila pesimisme, dan mengamini pernyataan legendaris Soe Hok Gie yang diambil dari Friedrich Nietzsche, yang diambil dari seorang filsuf anonim Yunani, Nasib terbaik adalah tak pernah dilahirkan, yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda. Kurang lebih begitu. Cita-cita nya, pun, mati karena hipotermia di Gunung Semeru. Peniru, dunia ini dipenuhi peniru, pikirku. Sayangnya, sudah lima kali ia memuncaki Mahameru, tapi tak sekalipun berniat mati. Belum umur dua puluh tujuh, kelitnya. Jadi, dia ini mau masuk klub yang mana, sih?

Di lain hari, aku makan siang di warung Indomie bersama Nadia. Ia mengaku bekerja di sebuah kantor percetakan digital, bertugas membagikan nomor antrean, mempersilakan duduk, memanggil nama, mengambilkan permen, juga sesekali bercengkerama dengan pengunjung tetapnya. Nadia orang yang menarik, meski kubilang diperlakukan bak robot, ia malah tersenyum kambing, menyebut dirinya sendiri kaleng besi yang dikutuk untuk selalu bahagia dengan pekerjaannya. Baginya, bertemu orang-orang baru tanpa menjalin relasi lebih lanjut adalah taktik tersendiri untuk mengobati gangguan kecemasan yang ia derita. Maklum, ia terpaksa bersahabat dengan kekhawatiran berlebih acapkali seseorang mencoba menjadi temannya. Entah, mungkin ia mengidap trauma atau apalah, aku tak ingin mencampuri privasinya.

Hari ini, sekitar dua jam yang lalu, aku makan dengannya, dengan Tania. Dari semua perempuan yang kukenal lewat situs perjodohan itu, Tania lah yang paling cocok menemaniku makan soto babat, hanya saja hari ini aku sedang tidak ingin makan soto babat.

"Jadi yang benar sai-fai atau sai-fi?"
"Kau kuno, jaman sekarang orang mendebatkan wai-fai dan wai-fi."
"Lho, fiction dibaca fiksyen, bukan faiksyen."
"Dan fidelity dibaca fideliti, bukan faideliti, apalagi faidelitai."
"Hei, jangan mengolok. Aku tahu te-ye dibaca ti."

Percakapan enteng macam ini lah yang kusukai dari Tania. Lori terlalu serius dan Nadia terlalu sensitif. Salah berkata-kata, bisa-bisa aku harus mengeluarkan kemampuan khususku : mengalah. Mengalah itu sulit lho, aku harus membaca enam ratus tiga belas halaman buku Seni Mengalah Kontemporer, Panduan bagi Pria Pegiat Online Dating terjemahan Aris Suwandi dan mengulangnya tiga kali dalam sebulan agar ilmunya benar-benar khatam. Sungguh, mengalah menguras banyak tenaga. Apalagi setelah mengalah, aku juga diharuskan berikhlas. Itu artinya aku harus membaca edisi kedua buku Aris Suwandi (kali ini karangannya sendiri) yang lebih tebal seratus tujuh puluh halaman. Lagipula manusia tolol mana yang bilang ikhlas itu gampang? Ikhlasin aja udah. 

"Aku akan (kraus) bunuh diri saja (kraus). Rencananya besok (kraus) aku pergi ke kantor seperti biasanya (kraus) tapi langsung bergegas ke roof top," seorang wanita berpolo biru kedodoran di meja sebelahku meracau kesal.

"Lalu?" rekan kerjanya, tentu dengan setelan serupa—kurasa itu seragam kantor—menimpali. Ia tampak tak tertarik sedikitpun menanggapi temannya meracau. Namun, sebagai teman kantor yang baik, kurasa ia memaksa dirinya untuk lebih bersimpati terhadap temannya.

"Aku tinggal lompat (kraus) dan yah... kau dan seisi kantor (kraus) tak akan pernah mendengar keluhanku lagi. Mayatku akan tercerai-berai (kraus) di depan lobi dan si keparat itu (kraus) akan kaget saat membaca surat (kraus) yang akan kuselipkan di saku kanan celanaku," katanya menyudahi. Raut wajahnya tetap serius, meski sembari mengunyah gorengan kering khas warung.

Bodoh, batinku. Orang macam apa yang menceritakan rencana bunuh diri keras-keras di warung gulai ayam? Lagipula rencana itu tak ada spesial-spesialnya. Mungkin akan lebih baik kalau rencananya lebih rumit. Misalnya, mencongkel gigi geraham dengan pecahan botol kecap lalu makan garam tiga toples tanpa minum dan diakhiri dengan memasukkan gantungan kunci berbentuk koala ke dalam pantat. Pengunjung lain bisa saja tertegun saat menguping. Di masa ini, orang suka yang rumit-rumit tanpa harus mengetahui maksudnya.

"Ngomong-ngomong, aku pernah lho, mau bunuh diri," Tania seperti tahu apa yang kupikirkan. "Aku pernah berencana mengikat tubuhku di roket Taepodong II, berharap mati perlahan karena kedinginan atau kehabisan oksigen setelah memasuki stratosfer, lalu memejamkan mata dan menyimpan keindahan potret bumi dari ketinggian 20.000 meter sebagai memori terakhirku."

"Ntap, itu baru rencana bunuh diri yang komprehensif. Rencana yang terencana, itu baru rencana! Kenapa batal kau lakukan?"

"Yang benar saja! Tiket ke Pyongyang mahal, lagipula Taepodong II hanya tinggal propaganda usang. Bahkan Amerika melabelinya Penis Putih Raksasa yang Tak Bisa Ereksi, apa asyiknya mati menempel di penis impoten raksasa?"

Saat itu juga, kekalutan dan rasa takjub menyelimutiku dalam waktu bersamaan. Luar biasa, tak kusangka para penikmat makanan pedas (kecuali seblak), atau berkuah, dan bermecin yang bukan seafood, termasuk ikan air tawar, memiliki tendensi suicidal yang tinggi. Ini fakta mengejutkan. Seharusnya kutulis saja penemuan ini ke dalam sebuah artikel clickbait kekinian, Hati-hati, Inilah Bahaya Jika Kamu Tidak Makan Seafood, Termasuk Ikan Air Tawar, Tapi Suka Makanan Pedas (Kecuali Seblak), atau Berkuah, dan Bermecin! Aku yakin, artikel ini pasti menghasilkan traffic yang luar biasa besar. Orang yang hidup di abad ke-21 memang suka hal-hal trivial seperti itu. Atau apesnya, tidak lolos kurasi karena judulnya terlalu panjang. Yang pasti, fakta kecenderungan bunuh diri pemuda-pemudi generasi ini hampir bisa dipastikan disebabkan oleh jenis makanan yang kusukai.

"Heh! Kenapa melamun? Lagi mikirin soal mati ya?" ujar Tania sambil menowel tanganku.

Tunggu... Penulis-penulis yang dianggap hebat selalu membunuh karakter kesayangan mereka dalam fiksinya sendiri. Apa spesialnya kematian? Apa memang tak ada yang lebih asyik dari kematian? Apa akhir harus selalu diakhiri dengan kematian? Apa romantisnya kehampaan setelah nafasmu berhenti berhembus dan darahmu berhenti mengalir? 

Mungkin aku hanya tak paham seni yang dikandung kematian. Bagiku, ia hanya tidak hidup. Layaknya pepatah pengusung optimisme, kosong hanya berarti tidak berisi dan gelap hanya berarti tidak bercahaya.

Kalau dipikir-pikir, aku ini lumayan narsistik. Dan kalau aku ingin menganggap diriku sehebat penulis-penulis yang dianggap hebat, aku akan membunuh karakter-karakter kesayanganku. Aku akan membunuh Lori dengan ayam geprek cabe dua ratus biji hingga lambungnya menyusut menyerupai usus dan ususnya mengembang menyerupai lambung. Aku akan membunuh Nadia dengan Indomie goreng dobel kadaluarsa lima tahun yang ia temukan tak sengaja di gudang printer kantornya saat sedang jaga malam, dan Tania -maaf aku membunuhmu sebelum membuatmu lebih spesial- dengan soto babat yang mangkuknya dicuci dengan air bekas limbah rumah sakit di sebelahnya, kabarnya air itu mengalir dari ruang perawatan khusus hepatitis yang luber sejak seminggu lalu. Karena kesal, aku akan mengabulkan keinginan perempuan meja sebelah, dengan kematian membosankan yang sudah ia rencanakan matang-matang. Serta temannya -yang tidak begitu penting di kisah ini- dengan mati tersedak gorengan kering khas warung gulai ayam yang dibungkus dari sisa sehari sebelumnya karena kaget mengira temannya hanya bercanda. 

Dan aku. Aku akan membunuh aku dengan kematian yang lebih dahsyat dari segala cara mati yang pernah diciptakan manusia : hidup.

***

Listening to : Father John Misty - Ballad of the Dying Man