Sunday, September 17, 2017

Kue Lapis


Tak seperti nadi yang bisa digurat, memori tak bisa ditipu begitu saja. Ia terus memburumu, bahkan saat ragamu dan tanah nenek moyangmu lama menyatu.

Kali pertama tatapannya menyihirku adalah saat aku sedang antre membayar tagihan di kasir, aku untuk game online, dan ia untuk voucher akses internet. Sorot matanya yang sayu membuntutiku hingga ke kasur kamarku. Memori itu terus berulang. Berakhir saat terlelap, lalu dimulai lagi begitu terbangun, rautnya lah yang selalu mengganggu rasa penasaranku. 

Hingga siang itu, aku sadar itu bukan kali pertama aku melihatnya. Aku pernah melihatnya di bus. Kalau tidak salah, tinggal aku, dia, dan supir saat bus jalur nomor dua melaju kencang ke selatan. Gadis itu turun lebih dulu, sekitar satu kilometer dari tempatku biasanya turun. Sekilas aku melihat wajahnya, rupa murung tapi entah bagaimana tetap bersinar merebut fokus mataku. Bodoh sekali, pikirku, aku tak menyadari kehadirannya sepanjang perjalananku meski aku duduk di jok paling belakang. Begitu ia turun, langkahnya tertuju pada sebuah gang yang hanya muat untuk satu kendaraan roda empat. Naluriku memaksaku mengingat huruf-huruf yang menggantung di atas gapura gang, tapi bus keburu melaju kejar setoran.

***

Aku menghabiskan empat jam sehari di warnet itu. Salah satu sisinya dijejali para pemain game online, dan sisi lainnya untuk mengakses internet. Kebanyakan pengunjungnya adalah remaja-remaja tanggung yang kebingungan menghabiskan energi berlebih mereka begitu bel pulang sekolah berbunyi. Bak pembatas di masjid-masjid, loket kasir itu seakan memisahkan anak laki-laki di ruang game dan perempuan di area akses internet. Biasanya saat membayar tagihan lah, laki-laki dan perempuan dapat berjalan beriringan di tempat yang sama.

Saat mengantre, aku menggali ingatanku tentang rupa gadis murung. Sambil memandangi wajah sampingnya, kutemukan berbagai kecocokan dengan penggalan-penggalan ingatan yang sudah lama berlalu—rambutnya pendek sebahu, poninya tanggung hingga tak sampai menutup alis dan telinganya, matanya sipit saat tersenyum, hidungnya tidak pesek maupun mancung, bibirnya tipis juga sedikit lebar. Perpaduan gerakan bibir dan matanya dapat sekejap mengubah raut murungnya menjadi riang. Hal itu kulihat setiap ia balas menyapa kenalan yang lebih dulu menyapanya. Ia juga mengenakan seragam sekolah (rival sekolahku) yang sama seperti saat kulihat dia di bus. Segenap aktivitas pemanggilan kembali informasi itu membuat tatapanku kosong dan meninggalkan mulutku yang masih menganga. Tak sadarkan diri, terbuai paras beningnya. Begitu ia menoleh ke arahku, aku membuang mukaku dan diam-diam mengarahkan pandanganku ke bordir nama yang tersemat di seragam sekolah yang ia kenakan. "Tamara Pramodharanindra."

Tak butuh waktu lama untuk menggali informasi pribadinya. Mesin pencari saat itu belum canggih-canggih amat, meski begitu, hanya butuh dua detik untuk mengetahui bahwa Nora, teman dekatku, ternyata teman dekatnya juga. Singkat cerita, Nora mempertemukan kami di sebuah kafe. Ia langsung pulang begitu kami berdua selesai memesan minum. Nora keparat. Betul-betul jebakan yang menyenangkan. Kuurungkan niatku membahas temanku itu lebih jauh. Selain jebakan pengubah sejarah itu, tak ada yang spesial dari pertemuan pertama. Yang kuingat, seluruh informasi yang kukumpulkan tak membuat gugupku berkurang sedikitpun.

Ia menarik tangan kananku kemudian menjepitkan kedua tangannya di kedua sisi tanganku, "Lihat, kue lapis."

"Sialan."

"Padahal, kau mengaku jarang keluar rumah, tapi kulitmu sehitam babi hutan yang kelamaan nongkrong dekat api unggun."

Begitulah, aku memang lebih suka mengurung diri di satu tempat. Bukan berarti aku anti sosial, aku hanya malas menjelajahi tempat-tempat baru—atau berkenalan dengan orang baru—di mana remaja seusiaku silih berganti menggandrungi satu tempat lalu dua bulan berikutnya pindah ke tempat lainnya. Saat itu, aku masih tinggal di rumah nenekku karena orang tuaku sedang dinas di luar kota. Hal ini cukup membantuku, terutama karena nenekku lumayan konvensional, ia memaksaku belajar hingga jam sembilan malam, lalu menyuruhku tidur sejenak kemudian. Hasilnya, nilai ujianku cukup memuaskan meski aku sering bolos untuk bermain game online.

"Ngomong-ngomong, orang tuaku membekaliku kue lapis tiap hari. Kapan-kapan kau harus coba."

"Boleh," jawabku girang. Dengan bilang kapan-kapan, berarti akan ada pertemuan selanjutnya.

Tamara setahun lebih muda dariku. Ia penggemar Emily Davison, pejuang hak-hak perempuan generasi pertama, ujarnya. Konon, wanita Inggris itu menabrakkan diri pada kuda balap milik raja untuk memprotes tak kunjung diberikannya hak berpolitik perempuan. Kami ngobrol banyak soal Davison di kafe. Obrolan kami tampak begitu hidup, meski aku terlihat seperti penonton pertunjukan wayang yang duduk manis mendengarkan dalang asyik bercakap menggunakan berbagai macam tokoh.

"Kau tahu, Emily nggak langsung meninggal."

"Sebutannya tetap martir."

"Bisa dibilang begitu. Toh lima belas tahun berikutnya perempuan Inggris boleh ikut pemilihan."

***

Sebulan berlalu, kami semakin sering bertemu dan mulai bertukar informasi soal hal-hal pribadi. Tamara tampak bersemangat menceritakan masa kecilnya. Dahulu, orang tuanya secara berkala bertukar peran dalam mengasuh anak. Ibunya mengelola gedung bioskop kecil—kerap disulap menjadi gedung teater atau bahkan tempat diskusi dadakan—yang hanya dibuka untuk komunitas tertentu. Namun, karena terbatasnya tempat-tempat diskusi di kota ini, gedung itu tak pernah sepi agenda. Begitu mulai jenuh, ia memutuskan untuk istirahat tiga bulan dan memasrahkannya kepada partner bisnisnya, kemudian tinggal di rumah mengasuh Tamara. Setelah puas, ia kembali bekerja dan giliran suaminya yang banyak di rumah. Ayah Tamara seorang pengajar arkeologi. Menjadi sekadar pengajar saja di universitas tentu tak memakan banyak waktu, kecuali kau sedang mengerjakan proyek penelitian. Karenanya, ia harus bisa memanfaatkan tiga bulan—jatah fokus bekerja sesuai kontrak perkawinannya—yang ia miliki untuk menyelesaikan penelitiannya sebaik mungkin. Di samping itu, ayah Tamara juga maniak sejarah. "Cuma soal Mataram Kuno, itu pun terbatas soal Wangsa Syailendra," jelas Tamara. Nama Pramodharanindra adalah pemberian ayahnya, gabungan dari Pramodawardhani, ratu Mataram Kuno yang diperistri Rakai Pikatan kemudian bersama menaklukkan Balaputradewa sebelum ia mendirikan Sriwijaya, dan pendahulunya, Dharanindra, raja yang diperkirakan memulai pembangunan Candi Borobudur dan memperluas kekuasaan Mataram hingga sebagian Indocina. Nama adalah harapan, maka nama yang berat diiringi beban yang berat pula. Meski begitu, Tamara tak terlalu memikirkannya, baginya nama hanyalah sebuah sebutan untuk membedakan manusia dengan manusia yang lain.

"Pramodawardhani lah yang merampungkan Borobudur. Bahkan, ia juga membebaskan pajak beberapa desa supaya warga mau ikut merawatnya. Monarki boleh, adil harus," kekeh Tamara memuji asal-usul namanya.

"Bisa simpan ceritanya lain kali? Kue lapismu ini enak sekali," kataku sambil mengunyah kue lapis pemberian Tamara.

"Kau memang tak suka dengar ceritaku ya?"

Mendadak raut murung yang sebulan terakhir tak kujumpai kembali menghiasi wajahnya. Aku menanyakan sebabnya, tapi ia malah menunduk dan terdiam. Akhirnya ia memberanikan diri buka mulut.

"Belakangan ini, aku merasa sedang dikuntit seseorang."

Mulutku sedang asyik memamah kue lapis dan hampir tersedak saat mendengarnya. Aku buru-buru menelannya bulat-bulat. "Lalu?"

Semua bermula saat ayahnya terlibat penelitian penting. Setahu dia, penelitian ini ada hubungannya dengan penemuan yang bikin geger baru-baru ini. Penemuan dua prasasti kuno di kawasan pembangunan bandara baru kota kami. Dua prasasti itu ditulis dalam bahasa Sansekerta. Sebagai ahli arkeologi yang punya ketertarikan khusus soal Mataram Kuno, ayahnya ditunjuk untuk menyelidiki isi dua bongkah batu tersebut, dan menuturkan faedah yang bisa diambil untuk pembangunan bandara kali ini. Yang pertama diperkirakan dari abad kedelapan, yang lain abad kesembilan. Keduanya belum dinamakan, tapi kurang lebih isinya mengenai pembangunan tempat pemujaan terbesar Mataram Kuno, di pesisir selatan Laut Jawa.  Di prasasti pertama tertulis bagaimana candi raksasa mulai dibangun. Kurang lebih isinya begini,

"Ratusan petak hutan, kebun, dan segelintir rumah milik penduduk yang tak sudi mendukung pemuliaan mesti dibabat habis. Tiada yang lebih utama dari sumbangsih kaum manusia pada yang maha pemberi. Pengampunan diberikan pada mereka yang mau patuh, dengan membabat alas yang terlampau liar, memindahkan batu-batu raksasa, membuat ukiran-ukiran, atau membentuk arca-arca. Tanpa cambuk yang diayunkan, tanpa pedang yang dihunuskan. Sementara pengorbanan dibebankan pada mereka yang menolak tunduk, dengan daun-daun telinga, bola-bola mata, potongan-potongan lidah."

Prasasti yang kedua menceritakan akhir dari kisah pembangunan candi.

"Lima dasawarsa berlalu tanpa sejengkal purnama. Satu undak tersisa dan maha pemberi akan mengampuni. Cakrawala terlalu malu dan bersembunyi di balik selimutnya. Belum saatnya gelap, sang buyut enggan menerima puja dan sesembahan. Mengambil apa yang diberikan, memberi yang tak diinginkan. Saat mereka yang tak tampak menyapa dari seberang, kami pontang panting berlarian. Mereka datang. Mereka datang."

"Sebentar, hubungannya sama dikuntit?" tanyaku keheranan.

"Begini, kau tahu kan ibuku mengelola bioskop?"

"Ya, terus?"

"Setiap malam sebelum ditutup, bioskop selalu diperiksa ulang, untuk perawatan. Nah belakangan, proyektor film yang ada di bioskop jadi sering kotor. Semacam, menembakkan burik kemerahan ke pusat layar. Layarnya sih normal-normal saja. Saat dicoba putar film, bagian-bagian tertentu jadi tak terlihat. Posisinya acak, tapi bentuknya selalu sama. Tentu mengganggu, kan?"

Aku mengangguk mengiyakan.

Tamara menjelaskan seraya mengulungkan sebuah foto burik yang dimaksud. Burik itu aneh, sulit mendeskripsikannya. Seperti bekas lipatan sprei yang menempel di pipimu saat bangun tidur. Seperti lelehan putih telur di wajan yang terpisah dari intinya. Seperti darah yang terpercik di tampon saat haid hari terakhirmu. Pilih saja sesukamu.

"Ibuku sudah komplain, tapi ternyata semua komunitas screening mengaku tak memakai proyektor yang kotor itu. Mereka pakai proyektor cadangan yang gambarnya tak terlalu bagus. Karena tak percaya, ibuku memeriksa rekaman cctv di ruang proyektor. Tapi ternyata betul, mereka tak memakainya. Kotor dari sebelum pakai, kata mereka. Padahal begitu kotor langsung dibersihkan, lho. Lagipula anggota komunitas itu juga tak tahu cara membersihkannya, sih," lanjut Tamara.

Aku mengambil sepotong kue lapis lagi.

"Karena kotor lagi kotor lagi, ibuku kudu mengelapnya berulang-ulang, bikin dia pulang malam. Setelahnya, pas ibuku mau pulang, telepon kantornya berdering. Lalu ya begitu, tak ada seorangpun yang menjawab, cuma orang iseng. Sesampainya di rumah ternyata ayahku juga cerita mengalami hal yang sama—telepon iseng. Anehnya, si penelepon cuma iseng telepon ke nomor kantor mereka. Ponsel dan telepon rumah aman."

"Jadi, ini siapa sih yang dikuntit?"

"Aku belum selesai. Beberapa hari terakhir, sehabis istirahat kedua, aku dipanggil ke ruang TU. Ada telepon, katanya. Begitu kuangkat, sama seperti orang tuaku, tak ada yang menjawab. Aku sampai pesan ke petugas TU kalau ada telepon lagi buatku, diamkan saja. Aku merinding tak habis pikir. Kok aku kena juga?"

"Goblok."

Aku bergidik.

***

Hubungan kami hanya bertahan tujuh bulan. Ia memintaku putus karena mengaku ingin fokus pada ujian sekolahnya—ia memang rajin, lagi cerdas. Bertahun-tahun berlalu, kini aku sudah cukup dewasa dan tinggal di pucuk timur nusantara. Konon pembangunan bandara di kota kelahiranku sempat mandeg lama. Serangkaian isu mulai dari pembebasan lahan, besarnya potensi bencana, duit yang dikorupsi, hingga kasus hilangnya tokoh-tokoh penting yang menentang pembangunan bandara itu bertubi-tubi menghantam prosesnya.

Kebetulan, aku sedang pulang kampung dan—seperti makhluk sosial pada umumnya—memamerkan kepulanganku lewat instastory. Sebuah notifikasi pesan muncul dari layar ponselku. Nora, temanku yang mengenalkanku pada Tamara, mengajakku bertemu. Ia baru saja kembali dari studinya di Australia dan barangkali sedang menganggur. Kami ngobrol tak tentu arah macam bapak-bapak eks begundal saat masih bujang, bertukar nostalgia yang itu-itu saja, tak ada habisnya. Sudah barang tentu, Tamara tak meleset dari topik pembicaraan.

"Begitu ya, jadi sampai sekarang jasadnya belum ketemu," gumam Nora.

"Sekalipun, aku masih belum lepas, lho."

"Lemah."

"Bukan, seperti yang kubilang, bayangan Tamara sering muncul tiba-tiba. Bayangan yang sama. Tak ada lagi raut murungnya. Tak ada lagi mata sayunya. Tak tampak lagi daun telinganya. Tak terdengar lagi kecap bibirnya. Tak ada lagi sinarnya."

"Ngeri anjing."

"Mau gimana lagi, memori mempermainkanku. Tiap ia muncul, mulutnya menganga kecil. Seolah mau bilang sesuatu. Tangannya melambai lemah. Belum sempat bersuara, pudar sukmanya ditelan sadarku."

"Sepandai-pandai kau mengecoh, memori tak tertipu semudah itu."

Tiga bulan sebelum bandara itu beroperasi, polisi mengumumkan penemuan puluhan tulang belulang manusia yang hanyut terdampar di pesisir selatan Jawa. Perkiraan usia kematian mereka tak lebih dari sepuluh tahun. Hanya sedikit yang bisa diotopsi, termasuk beberapa tengkorak yang telah menguning, lengkap dengan recak yang sangat familiar. Sulit mendeskripsikan bentuknya. Seperti bekas lipatan sprei yang menempel di pipimu saat bangun tidur. Seperti lelehan putih telur di wajan yang terpisah dari intinya. Seperti darah yang terpercik di tampon saat haid hari terakhirmu. Pilih saja sesukamu.

Sontak, aku menjatuhkan kue lapisku.

***

Listening to : Joey Bada$$ - Hazeus View

Monday, August 7, 2017

Ambimoron, Oksivalensi, dan Jangan Kamu Nikah Muda


Apa kau tahu istilah yang tepat untuk sesuatu yang kau cintai sekaligus benci di waktu yang sama? Aku yakin setiap orang punya satu. Soal cinta dan benci, keduanya berada di kutub yang berbeda, tapi biar bagaimanapun bisa serempak dirasakan. Benarkah, ambivalensi? Benarkah, oksimoron? Entah istilah tepatnya, kata-kata memang terbatas untuk menjelaskan hal-hal tertentu. Yang kutahu, aku sedang menyanyikan salah satunya.

I don't know how, you were diverted
You were perverted too
I don't know how, you were inverted
No one alerted you

Suara George Harrison menderau samar dari speaker mobil, derasnya hujan di luar membuatku menekan tombol volume up beberapa kali. Aku menyanyikannya dengan lantang sambil mengutuk jalan yang macet. Beribu memori seakan bangkit dari kubur begitu While My Guitar Gently Weeps meracau dari playlist acak. Seribu memori baik, seribu memori buruk. Maaf George, aku terlanjur cinta namun sekaligus benci dengannya.

Sudah lama aku tak mengemudi. Apalagi sendirian, di tengah jalanan Jakarta hari Jumat sore. Kalau saja bukan karena Zara, sahabatku -bukan, mantan sahabatku, atau satu-satunya mantan sahabat, atau mantan satu-satunya sahabat yang pernah kumiliki- mengajakku minum kopi di kafe baru miliknya, mana mungkin aku mengiyakan.

Ngomong-ngomong, aku sudah sebulan di sini tapi baru kali ini aku pergi keluar. Maklum, aku tak punya banyak teman dan pada dasarnya aku memang kesulitan mencari teman baru. Selain itu, aku juga butuh waktu bersenang-senang untuk diriku sendiri selepas kuliah. Dengan mengiyakan ajakan Zara, hitung-hitung aku sekaligus mencoba beradaptasi di lingkungan baru.

Dibilang lingkungan baru pun tidak juga, aku tinggal di sini hingga pertengahan kuliah, tapi Jakarta terlalu banyak berubah. Selama tiga tahun di Montreal, aku menangisi penggalan-penggalan memori memuakkan yang kupunya tentang Jakarta : deru klakson kendaraan yang memaksaku bangun tiap subuh, panas matahari jam tujuh pagi, menghabiskan sarapan di mobil saat macet berangkat sekolah, atau menikmati akhir pekan sendirian dengan jalan-jalan tak tahu arah di mall. Sungguh, merindukan hal-hal yang tak lagi kau miliki memang menyiksa, semuak apapun kau pada mereka.

Yah, rindu menghasilkan fantasi kusut yang hanya didesain untuk hal-hal memuakkan yang tak kaumiliki. Terbukti baru sebulan aku pulang, semua yang kurindu akhirnya kembali kumiliki tapi sensasi yang kurasakan hanya rasa kesal tak berkesudahan. Rasanya aku ingin terperangkap saja dalam fantasi kusutku, berenang-renang menyusuri setiap pojok romansanya, tenggelam erat di peluknya, hingga tak kuasa bangkit berdiri. Kupikir aku akan lebih menikmatinya.

Beberapa saat berselang, sebuah bangunan mungil bercat putih dengan papan kayu bertuliskan Resonance merebut perhatian mataku. Aku menyalakan lampu sen, lalu pria tua dengan payung dan stik merah langsung sigap membantuku memarkirkan mobil. Ia memayungiku hingga aku masuk ke dalam kafe. Di meja kasir, Zara berlari menciumku, mengelapku jaket jeans-ku yang sedikit basah dengan tisu, mempersilahkanku duduk, lalu menggenggam erat tanganku sambil tersenyum lebar sebagai ucapan selamat datang. Ia memilih meja di pojok kafe, cukup intim karena dikelilingi pembatas ruangan yang digantungi berbagai macam pot berisi tanaman obat-obatan.

"Aaah, Oyaak! Lama sekali rasanya. Tiga tahun, kan?" sapanya sebelum melepas genggamannya. Dari sekian banyak manusia yang mengenalku, hanya Zara yang memanggilku dengan nama itu. Bahkan kedua orang tuaku tak pernah memanggilku dengan nama seimut itu.

"Berapa lama ya? Aku lupa. Eh, pakai kerudung sekarang?" tanyaku sedikit terkejut melihat perubahan drastis cara Zara membungkus dirinya sekarang.

Tak langsung menjawab, Zara memalingkan muka ke arah pelayan kafe, memberi anggukan kecil, lalu merapatkan telapak tangannya ke dekat pipi kirinya yang tirus. Pelayan datang membagikan menu sambil tersenyum mempersilakan kami memilih dan berdiri menunggu di sebelah kami. Zara menyuruhnya untuk kembali ke tempatnya saja hingga kami selesai memilih pesanan. Setelah itu, ia kembali menoleh padaku.

"Beberapa bulan sebelum menikah. Satu setengah tahun lah. Yah, tak ada yang tahu kapan hidayah dari Tuhan datang padamu, kan?"

"Nggak ada yang tahu, sih. Yang jelas, Ia tak pernah datang padaku."

"Kau ini, masih sama saja."

Aku ingin menimpali seberapa banyak ia berubah tapi untungnya aku mampu menahan diri untuk menyinggung hal itu lebih jauh. Zara yang kukenal adalah Zara yang tak mengenal kata munafik dalam kamusnya. Kamus yang ia miliki penuh dengan kosa kata cemoohan dan ia fasih menggunakannya. Istilah-istilah itu pun dilontarkan dengan jujur, tanpa niat merendahkan. Ia seringkali menjadi yang terdepan dalam mengajukan pendapat, namun sayang mulut jujurnya kurang bisa ia kontrol sehingga banyak yang terluka karenanya. Aku memang tak banyak bicara, tapi aku nyaman sekali dengan cara otaknya bekerja. Hanya dengannya aku betah membuka mulutku lebih lama. Bisa jadi itu yang membuatku dekat dengannya. Bisa jadi pula, itu alasan orang-orang menjauhi kami. Atau bisa jadi, itu lah alasan mantan pacarku selingkuh dengannya.

Kami membolak-balik halaman buku menu. Ia menutup miliknya dan melambaikan tangan ke pelayan kafe. Ia pesan Hazelnut Latte, aku Cold Brew Toraja. Tak lupa, aku minta asbak dan kami berdua sama-sama mengeluarkan sebungkus rokok Marlboro merah dari tas kecil kami.

"Loh, masih merokok?"

"Memang kenapa?"

"Kupikir sebaiknya seorang ibu jangan merokok."

"Aku belum jadi ibu. Si Dhani belum mau punya anak, ingin menikmati waktu bersama sedikit lebih lama."

Aku pertama kali tahu Dhani, mantan pacarku, selingkuh dengannya beberapa bulan setelah aku meninggalkan Jakarta. Pada waktu itu, dia menelponku lewat Skype -kami rutin melakukannya dua hari sekali dan kupikir kami berdua menikmatinya. Ia mengawali pengakuannya dengan menceritakan rasa kehilangannya atas diriku. Ia bilang, aku dan dia bagai pinang dibelah dua. Dengan sifat yang sama, dengan kebiasaan yang sama. Dengan kebutuhan yang sama, dengan selera yang sama. Ia lalu bercerita saat aku pernah bilang aku suka sekali berteman dengan Zara dan akan memacari Zara andai bisa. Kalau aku saja bisa klop dengan Zara, kenapa dia tidak? Sudah sebulan berjalan, katanya. Dengan alasan seperti itu, ia minta aku memaafkannya dan Zara sekaligus. Aku hancur saat mendengarnya, tapi apa yang bisa kuperbuat? Toh, aku juga ikhlas kalau akhirnya dua orang terdekatku bisa saling membahagiakan satu sama lain.

Setahuku, mereka pacaran dua tahun sebelum menikah. Begitu lulus kuliah (keduanya lulus dan wisuda di waktu yang sama, manis bukan?) orang tua Zara mendesak Dhani untuk segera menikahi putrinya. Padahal, Zara berkali-kali menekankan bahwa ia ingin terlebih dahulu menjadi wanita yang mandiri, yang bebas, dan tak terikat oleh nilai-nilai patriarkial keluarganya. Namun apa daya, ide itu ditolak keluarganya mentah-mentah. Makanya, beruntung lah nasibnya karena Dhani akhirnya mau menikahinya. Dengar-dengar, Zara dan Dhani menikah di saat usia mereka sama-sama dua puluh dua tahun. Zara memang tumbuh di keluarga yang konservatif, tapi Zara sendiri kerap cerita betapa muak ia pada lingkungannya. Ia merasa terkekang karena ayahnya yang pemuka adat di kampung, tak ingin dianggap punya anak seorang perawan tua. Jujur saja saat itu aku tak begitu peduli dengan urusan mereka karena aku sendiri masih hancur karenanya.

Lain cerita, Dhani tumbuh bergelimang harta. Orang tuanya memiliki bisnis properti yang cukup sukses. Sebagai anak tunggal, semua keinginannya dengan mudah ia dapatkan. Seperti dua gitar Les Paul, dua amplifier Orange, dan lima perangkat gim konsol berbeda di kamarnya. Sebuah keistimewaan yang tak dimiliki kebanyakan orang, bukan? Namun sayang keistimewaan itu mahal harganya. Orang tua Dhani jarang sekali di rumah, sekalipun di rumah, setengah waktu mereka dihabiskan untuk menerima tamu dan telepon bisnis. Mereka memang memberi Dhani kebebasan yang mutlak, tapi tidak diikuti oleh kepedulian yang tulus. Kalau kau pernah nonton Richie Rich, kira-kira begitulah gambaran masa kecil Dhani.

Pernah ia bercerita tentang anak-anak sebayanya yang mengajaknya berteman hanya karena ia punya segalanya. Kalau teman-temannya mulai bosan, mereka akan meninggalkan Dhani satu-persatu. Sering Dhani merasa kesepian, dan untuk membuat teman-temannya kembali, ia mentraktir mereka jajan atau mereka tak akan kembali sama sekali. Bagaimanapun, Dhani tak pernah punya satu hal krusial yang sewajarnya dimiliki anak-anak : kasih sayang dan ikatan yang tulus dengan orang-orang sekitarnya. Bahkan setiap keluarganya rutin jalan-jalan ke luar negeri, ia terpaksa berkeliling sendirian karena orang tuanya diam-diam punya urusan bisnis di sana.

Semakin dewasa, Dhani sadar masa kecilnya telah dibarter dengan sampah-sampah mahal yang ia miliki. Ia menjadi penyendiri, sibuk dengan dunianya sendiri, enggan berbagi dengan orang lain. Ia takut orang lain hanya akan memanfaatkannya. Ia takut, orang-orang hanya akan menambah jejak buruk rekaman sejarah hidupnya.
 
Aku dan Dhani sekelas waktu SMA. Pertama kali ia mendekatiku saat pelajaran Bahasa Indonesia, di mana kami semua diminta untuk bercerita tentang liburan kami bersama keluarga. Dengan percaya diri aku menceritakan liburanku yang membosankan, berkeliling ke beberapa toko buku bekas turis di Bali. Aku sudah terbiasa tak peduli dengan label yang diberikan teman-temanku padaku. Hingga Dhani mendatangiku di akhir pelajaran, kemudian memuji ceritaku yang mirip dengan yang ia alami. Sejak itu kami sering pergi berdua dan resmi berpacaran. Tak butuh waktu yang lama bagi kami untuk saling menyesuaikan diri. Kebencian kami pada realita, pandangan kami terhadap palsunya tatanan sosial, dan bagaimana kami menyikapinya lah yang menjadikan kami cocok satu sama lain. Aku seperti melihat diriku padanya dan ia melihat dirinya padaku. Meski kami tak saling melengkapi, kami berdua serasa seperti mengencani diri kami sendiri. 

Di satu sisi, aku dan Dhani tumbuh untuk menikmati kebebasan kami, namun di sisi lain kami merasa sangat kesepian. Tentu, menjadi bagian dari keluarga konservatif yang kaku dan penuh kepalsuan hanya akan menyiksa Dhani. Aku sendiri sudah pacaran lima tahun dengannya. Aku tahu benar sebenci apa Dhani pada doktrin budaya ketimuran yang munafik, apalagi dipaksa menjadi bagian dari kemunafikan, membuatku tak yakin Dhani akan menikmati kehidupan barunya. Tak heran, aku pun paham alasan Dhani untuk tak ingin punya anak cepat-cepat. Mungkin ia hanya tak ingin masa kecil anaknya mereplika masa kecilnya. Atau mungkin ia ingin pelan-pelan menjauh dari pengaruh keluarga Zara, supaya mereka tak banyak ikut campur mengurusi anak mereka kelak. 

"Maaf aku baru mengabarimu. Aku baru tahu kau sudah di Jakarta. Dhani memberitahuku, tapi sekarang ia sedang banyak urusan, survey lahan katanya. Ia sibuk sekali belakangan, makanya aku ikut-ikutan bisnis kecil-kecilan begini. Lagipula, aku ingin bicara empat mata saja denganmu."

Ah, jadi sekarang Dhani yang mengurus bisnis keluarganya. Kupikir ia terpaksa menjalaninya, tapi dari cerita Zara, sepertinya Dhani tampak menikmatinya. Dulu ia bercita-cita untuk memiliki usaha sendiri di bidang lain, tapi nampaknya waktu memang mengubah orang.

"Nggak apa-apa. Ngomong-ngomong, apa maksudmu dengan hanya ingin kita berdua saja?" tanyaku penasaran.

"Duh, aku bingung bagaimana mengatakannya. Begini, entah kau sekarang menganggapku seperti apa, tapi aku masih menganggapmu sama seperti dulu. Dan kau adalah satu-satunya orang yang bisa kuandalkan soal ini..."

Zara melepas arloji Braun hitam dari tangan kirinya, lalu perlahan menggulung lengan blus viscouse hijau tua yang ia kenakan. Lengan mungil yang dulu putih mulus itu kini penuh dengan luka lebam kebiruan. 

"Dhani melakukan ini padaku tiap ia pulang meeting. Aku cuma tanya soal bisnisnya lalu ia menatapku penuh emosi kayak kesurupan leak yang lagi lapar. Aku takut. Aku hanya diam ketakutan sementara ia memaki tanpa henti," keluh Zara dengan volume suara yang makin mengecil dan terbata-bata. Sebentar lagi pasti tangisnya meledak.

Aku diam saja tak ingin menyela ceritanya. Benar saja, air mata mulai membanjiri pipinya yang memerah dan isak tangis membuat suaranya seperti kambing yang pura-pura kejang sesaat sebelum disembelih.

"Kalau aku sudah diam, dia bakal meninggikan suaranya lalu membanting barang-barang di sekitarnya. Biasanya aku cuma bisa meringkuk sambil menutup telingaku. Kalau sudah begitu, dia nggak segan mencengkeram tanganku keras sekali, membuka paksa kerudungku, menjambak rambutku dan bicara keras-keras di samping telingaku. Aku nggak bisa apa-apa, aku sudah pasti menangis. Nggak lama pasti dia mulai memukulku dengan bantal, atau paling parah menendangku bertubi-tubi." lanjut Zara sambil memperlihatkan pinggangnya yang juga penuh luka lebam.

"Lalu?" aku akhirnya buka mulut.

"Setelah aku menangis nggak berdaya, sorot matanya berubah dan tiba-tiba Dhani jadi peduli padaku. Ia lalu memelukku, terus-menerus minta maaf sambil mengusap tangisku. 'Cup, cup. Maaf sayang, aku khilaf terbawa emosi,' katanya. Aku balas memeluknya saat ia mencium keningku dan mengelus rambutku penuh penyesalan."

"Selama ini kau nggak cerita ke siapa pun? Ini kelewatan, Ra." tanyaku sambil mengulurkan tisu.

Ia mengisap rokoknya sebelum melanjutkan, "Dengar dulu. Selanjutnya dia bakal membelai pipiku dan menciumku perlahan. Kalau nggak kubalas ciumannya, ia akan memaksaku melakukannya. Dan kalau sudah begitu, tangannya pelan-pelan meremas dadaku dan.. kau tahu lah.."

"Tahu apa?"

"Nggak usah pura-pura bodoh, kita sudah sama-sama dua puluh empat tahun."

"Oh.."

"Ya, kami melanjutkannya dengan seks. Di ruang tengah, di dapur, di atas meja tv, di garasi mobil. Di mana pun kami bisa melakukannya. Dhani kelihatan sangat bernafsu melakukannya, aku jarang lihat nafsu sebesar itu tiap kami melakukannya secara normal."

Aku menelan ludah dan mencoba membayangkan hal lain. Mendengar cerita seks antara Zara dan Dhani lebih jauh hanya akan membangkitkan memori-memori yang tak kuinginkan.

"Maaf aku cerita ini padamu, tapi aku nggak tahan, Oyak. Dhani sekarang jarang melibatkanku dalam diskusi atau ambil keputusan soal hal-hal remeh kayak pas masih kuliah. Sekarang ia melihatku cuma sebagai properti, seperti cara keluarga besarku melihat istri-istri mereka. Aku ingin diperlakukan sebagai partner, makhluk yang setara. Bukannya budak seks yang nggak berdaya lalu disumpahi macam-macam dan selalu berakhir lemas di ranjang. Aku nggak tahan harus hidup dengan ketakutan yang sama bakal terulang esok hari." aku Zara diselingi isapan rokok dan isak tangis yang tak seirama.

"Lalu kenapa baru cerita sekarang? Pernah coba ke konsultan rumah tangga?"

"Nggak. Nggak bakal, kurasa. Aku bahkan nggak berani bilang ke Dhani. Memang kau pikir aku mau buka-bukaan soal ini? Kau pikir nanti keluargaku mau bilang apa? Keluargaku menganggapku beruntung sekali punya suami sekaya Dhani. Kalau tahu aku mau minta cerai, mereka bakal memaksaku untuk tetap diam dan bilang 'Awal nikah pasti banyak cekcoknya' atau 'Roda berputar, kadang di atas kadang di bawah' atau apalah.."

Kalau mau jujur, aku tidak kaget. Ternyata Dhani yang sekarang masih seperti yang kukenal. Selama pacaran lima tahun, kami seperti saling menyalurkan energi kami satu sama lain, entah positif atau negatif. Kami bisa dipenuhi nafsu untuk saling menguliti, dan di waktu yang sama memberikan nyawa kami satu sama lain jika diperlukan. Kami bisa dibutakan kebiadaban untuk saling menyobek arteri di pelipis masing-masing, lalu sekejap merengek manja seperti bayi yang ditinggal ibunya sepersekian detik. Termasuk soal seks, kami sama-sama kecanduan hubungan yang deras akan cinta dan amarah. Apalagi jika zat-zat haram macam amfetamin atau LSD sedang mengalir liar di darah kami, fantasi kami soal kekerasan dalam seks biasa kami wujudkan dengan makin variatif. Lucunya, meski berakhir lebam-lebam, tak satupun dari kami mengeluh. Kami cenderung menikmati setiap prosesnya.

"Kenapa kau cuma mau cerita padaku?"

"Kenapa? Ayolah, aku tahu luar dalam soal kau dan Dhani, tapi kalian nggak pernah cerita soal hal-hal kayak gini. Sola-ku sayang, ini saatnya kau jujur padaku, siapa tahu itu bisa membantuku, atau seenggaknya menenangkanku." ujar Zara sambil membenarkan lengan bajunya dan memasang lagi jam tangannya.
 
Pikiranku kacau. Aku tak tahu harus bicara apa. Beberapa saat lalu, memoriku seperti mempermainkanku. Ia sengaja memunculkan potret masa laluku dan Dhani yang sudah kukubur dalam-dalam. Seperti saat kami menghabiskan satu minggu penuh untuk berkelahi dan bercumbu, hanya karena kami menentukan siapa teman ospek yang boleh kami balas pesannya. Atau saat ia tak suka caraku menghabiskan limit kartu kreditku dengan membeli sekardus koleksi buku baru, lalu ia membalas dengan membeli koleksi buku yang sama untuk dirinya sendiri. Masalah-masalah sepele macam itu biasanya memang kami lanjutkan dengan keputusan bodoh, dan ditutup dengan seks yang membabi buta.

"Ra, begini.." dadaku sesak dipenuhi kenangan tentang Dhani. Aku bingung, ini kah saat yang tepat untuk berdamai dengan diriku sendiri?

Zara dan aku sama-sama mematikan rokok untuk memulai proses menyimak dan pengakuan, sesuai peran kami masing-masing. 

"Kau pernah dengar orang tua Dhani sibuk sekali berbisnis sampai Dhani nggak pernah merasa dekat dengan mereka?"

"Ya, dia sering cerita padaku. Apa hubungannya?" Zara bertanya heran.

"Faktanya, mereka nggak sesibuk itu. Dan... tiap kali Dhani bilang mereka pamit keluar untuk bisnis, mereka semacam... mencari tempat untuk melampiaskan.. kau tahu, hal-hal liar yang kini kau alami."

"Maksudnya?"

"Hmm, Dhani pernah cerita beberapa kali ia mengikuti orang tuanya diam-diam. Di loteng, di basement, di mana pun yang menurut mereka aman, ternyata Dhani mengendap-endap di belakang mereka. Ia juga bilang, sekasar apapun ayahnya memperlakukan ibunya, ibunya kelihatan happy-happy saja. Memang nggak jarang dia lihat ibunya menangis, tapi tiap kali ditanya, ibunya berkilah 'Ini tangisan bahagia'. Begitu." 

"Dan... apa ia pernah melakukannya padamu?"

"Pernah, dulu sekali. Memang, pada awalnya dia memperlakukanku kayak binatang. Tapi, aku pun punya memori yang nggak kalah buruknya. Kau tahu kan, sebab ibuku menceraikan ayahku? Berbeda dengan orang tua Dhani, orang tuaku saling memaki dan berkelahi di depanku dan abangku. Sebelum ibuku menggugat cerai, terjadi perkelahian hebat. Abangku sempat naik darah sampai memukul tenggorokan ayahku, makanya dengar-dengar ia jadi sulit bicara sekarang. Ia bilang padaku, kalau suatu hari nanti aku mengalami hal yang sama, jangan ragu untuk melawan."

"Terus?"

"Tentu aku melawan. Nggak ada yang mau diperlakukan kayak anjing. Mungkin kau bisa ikut kelas beladiri, Muay Thai atau Krav Maga mungkin." aku mencoba melawak.

"Hahaha yang benar saja, aku yang kayak tuyul busung lapar ini bisa apa sih? Kena sekali chockslam aku langsung jadi serbuk energen." Zara balas melawak, masih garing seperti biasa.

"Kau ini, coba dulu. Tapi kalau aku dulu sih mudah saja, orang macam Dhani jadi culun tiap takut kehilangan. Dulu aku sempat meninggalkannya dan sengaja lost contact selama dua bulan, sampai akhirnya dia datang ke rumahku lalu memohon-mohon kayak unta kehausan. Dia mengaku kapok dan sangat tersiksa dua bulan aku nggak ngasih kabar apapun. Yah, karena aku masih sayang, kubilang saja kalau ia berani melakukannya sekali lagi, aku bakal benar-benar pergi dan nggak kembali. Untungnya sih setelah itu nggak pernah lagi ada kejadian kayak gitu, dan sayangnya aku harus terpaksa ikut ibuku kabur ke Montreal. Jadi.. yah, begitulah. Aku nggak nyangka Dhani juga melakukannya padamu."

"Benarkah? Ah, Oyaak.. terima kasih. Aku lega akhirnya aku bisa buka mulut soal ini. Tapi aku lebih lega karena aku bisa buka mulut padamu. Nggak salah waktu kupikir kau adalah satu-satunya orang yang tepat buat masalahku ini. Maaf aku nggak bisa kasih kamu apapun kecuali ucapan terima kasih dan sebotol Cold Brew Toraja. Kuharap kau masih mau ngobrol denganku kapan-kapan sampai masalah ini selesai."

"Halah, santai saja Ra. Kupikir aku lah yang harus berterima kasih karena kau mau buka-bukaan padaku. Kau tahu? Aku sangat merindukan saat-saat kayak gini. Boleh lah, kita harus banyak ngobrol begini."

Aku dan Zara melanjutkan obrolan sampai Resonance hampir tutup. Sesudah itu, aku pamit pulang sementara Zara masih ingin mengawasi pegawai-pegawainya lebih lama lagi. Hingga malam, kafenya tak begitu ramai. Aku menutup pamitku dengan menyemangatinya menggunakan kata-kata standar yang intinya mendoakan kesuksesan bisnisnya. Berkali-kali aku melakukannya, tapi baru kali ini aku sungguh-sungguh memaknainya.

***

Enam tahun berlalu sejak pertemuanku di Resonance. Aku sudah pindah ke Bandung dan kini bekerja di sebuah firma arsitektur. Hari ini akhir bulan dan aku baru saja selesai menonton film terbaru Christopher Nolan. Setiap akhir bulan, kantorku memberi libur ekstra tiga hari bagi karyawannya untuk mengurangi beban kerja berlebih karena belakangan kantorku sedang mengerjakan proyek besar. Karenanya, aku punya waktu luang untuk sekedar menonton film di bioskop atau bermalas-malasan di apartemen.

Bioskop hari itu penuh sekali, aku cukup beruntung mendapat satu tiket. Saat berjalan keluar, aku melihat sesosok wanita yang sangat kukenal. Zara. Begitu pun saat ia melihatku, ia langsung mengenaliku.

"Kita nggak pernah ngobrol lagi sejak terakhir di Resonance." tukas Zara.

"Iya maaf aku nggak pernah membalas chatmu. Aku sedang sibuk magang waktu itu."

Kami ngobrol sambil berjalan menuju tempat kami memarkirkan mobil. Zara cerita soal Resonance yang sukses besar dan kini ia memasrahkannya kepada bawahannya. Sayang obrolan kami tak berlangsung lama, ia mengaku sedang terburu-buru karena suami baru dan anak laki-lakinya yang masih TK menunggunya di rumah. Sambil membawa tas plastik besar berisi belanjaan bulanan, sesekali ia tertawa lepas saat menceritakan tingkah laku anaknya yang masih polos. "Aneh-aneh ya anak kecil jaman sekarang. Masih TK kok cinta-cintaan." kelakarnya. Zara kelihatan bahagia menjalani kehidupan barunya. Tak lupa, aku sempat membantunya memasukkan belanjaan ke bagasi mobilnya. Setelah selesai memasukkan barang, ia melambaikan tangannya padaku dan berpamitan. Ia memintaku untuk menghubunginya lagi setelah tahu kami sama-sama tinggal di Bandung sekarang.

Aku masuk ke mobil lalu diam sebentar. Pikiranku membawaku kembali ke Resonance, ke pertemuan itu, ke waktu di mana aku memutuskan untuk tidak jadi berdamai dengan diriku sendiri. Antara penyesalan dan kelegaan telah berbohong pada Zara. Menyesal karena berbohong itu, yah, perbuatan yang salah. Lega karena, kebohonganku membuat Zara menggugat cerai Dhani dan akhirnya ia bisa hidup bahagia dengan suami barunya.

Sambil memacu mobilku pelan-pelan, aku merenungkan peristiwa itu. Seandainya saat itu aku memilih untuk jujur. Tentang kegemaranku pada seks liar, tentang ide mendominasi satu sama lain. Tentang Dhani yang gemar mendominasi ternyata pada satu waktu bisa pula bertekuk lutut setelah aku berhasil membalik keadaan. Tentang sensasi aneh tapi nikmat saat aku yang menjadi dominan atas dirinya.

Aku bisa saja bercerita kalau aku mulai paham kenapa Dhani gemar melakukannya dan memang kami sesekali berbincang soal itu setelah seks. Biasanya, sambil menghisap beberapa linting ganja yang kami pesan, aku mengajukan ide untuk terus melanjutkan hubungan dengan cara seperti itu. Pernah suatu ketika hubungan kami dingin-dingin saja, aku dan Dhani malah merasa ada yang aneh. Kami secara sadar menginginkan hubungan yang berapi-api dan setuju untuk terus melakukannya. Tidak sehat memang, masing-masing menjadi terlalu berlebihan dalam menjunjung konsep kepemilikan. Kau tahu, itu sebabnya aku dan Dhani sama-sama tak punya teman sejak SMA hingga kuliah.

Sesampainya di apartemen, aku masuk ke dapur dan membuat dua gelas kopi. Satu untukku dan satu untuk Dhani yang masih sibuk dengan leptopnya.

"Tadi aku ketemu Zara."

"Apa dia tanya soal aku?"

"Nggak, kayaknya dia nggak tahu."

"Bagus lah."

Dhani menyeruput kopinya tapi buru-buru menaruhnya di atas meja. Masih terlalu panas, katanya. Ia menutup leptop dan menyalakan sebatang rokok. Bangkit dari kursinya, ia mengambil gitar, lalu berjalan ke arah kasur dan berbaring di sebelahku. Dijepitnya rokok yang ia nyalakan di antara jari manis dan jari tengahnya. Sambil mengatur posisinya, ia mulai memetik senar gitar dan melantunkan verse kedua lagu kesukaan kami.

I look at the world and I notice it's turning
While my guitar gently weeps
With every mistake we must surely be learning
Still my guitar gently weeps

Aku menenggak kopiku sambil memejamkan mata seiring Dhani bernyanyi. Kupikir aku harus bersyukur karena telah melakukan langkah yang benar. Sekali lagi memberi kebahagiaan bagi dua orang terdekat yang kumiliki.

Tak lama aku membalas Dhani dengan menyanyikan bagian reffnya.

I don't know how you were diverted
You were perverted too
I don't know how you were inverted
No one alerted you

***

Kepada Dhani Harrison dan Sola Káradóttir. Bapakmu memang luar biasa.

Listening to : The Beatles - While My Guitar Gently Weeps

Wednesday, June 7, 2017

Ah, Bapak Juga Udud...


Kami berempat dikumpulkan dalam satu ruangan.

Berdiri di sebelah kananku, seorang pria menggendong anaknya yang masih bayi. Sekilas, penampilan mereka biasa saja : sang ayah mengenakan kaos abu-abu polos dan anaknya memakai sweatshirt putih dengan pola gambar-gambar bertema iptek seperti roket atau pesawat ulang alik. Pakaian sang anak agak kedodoran sehingga harus dilipat tiga kali pada bagian lengannya. Diam-diam, kutengok nama yang terpampang di name tag si ayah. Namanya panjang, sampai mesti disusun dua baris atas-bawah. Tulisannya sudah pudar, jadi hanya sedikit yang bisa kubaca : ky di akhir bagian atas dan ke di akhir bagian bawah. Tak mau repot-repot, kupanggil saja dia KyKe. 

KyKe mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Ayah muda ini terlihat trendi saat merokok, terutama saat asap putih tebal mengepul hingga menutupi separuh wajahnya. Saat aku menengok, yang terlihat hanyalah kepulan asap dan sepucuk rambut jambul yang tak kalah nyentrik dibanding gelang Bali yang dipakai anaknya. Kilau mata KyKe angkuh sekali, ia tak segan merokok meski sedang menggendong anaknya. Setahuku, merokok dekat anak berbahaya bagi mereka. Kulihat peringatan itu di mana-mana. Namun seketika itu, aku hanya diam saja.

Di sebelah kiriku berdiri pria paruh baya, lebih tua lima tahun dari KyKe sepertinya. Tatapan matanya dalam, ia pasti sedang berpikir bagaimana caranya berurusan dengan penemuan tak biasa ini. Lagaknya sok jagoan, pikirku. Bagaimana tidak? Malam-malam begini dia bangga sekali pamer lekuk bodi di kuburan. Tanpa sehelai sutra pun yang melekat, dengan percaya diri ia menyalakan sebatang rokok. 

Dihisapnya dalam-dalam rokok tersebut sambil membayangkan skenario awal terjadinya peristiwa ini. Baru pada hisapan kedua, dimensi sirep mulai membawanya jatuh lebih dalam. Terlebih dahulu ia memaparkan, ritualnya akan dimulai dengan memejamkan mata. Kalau sudah begini, ia bakal diam sejenak selama semenit. Lalu saat matanya tiba-tiba melotot nanti, ia akan menyalak kasar sebagai pertanda ia sudah kembali sadar. Tak ada yang tau apa yang dilakukannya di dalam sana. Sebelum menyalakan rokok dan memulai ritualnya, ia sempat peringatkan kami agar tak perlu khawatir jika ia "pergi tidur" nanti. Ia bilang, dalam gelap dunianya, ia berusaha mencari petuah pada arwah leluhurnya soal matinya Pak Surya. 

Tak lama kemudian..

"Kau unta ungu mandul!!" serunya pertanda ritual selesai. Matanya terbelalak seakan tahu sesuatu. Kami mencoba tidak kaget merespon aksinya. "Barusan aku diberitahu Ki dan Nyi Boro, kalau Pak Surya ini sudah mati tiga hari lamanya."

"Pantas saja. Minggu lalu aku berpapasan dengannya di dekat rel yang agak menikung itu, kau tahu kan? Ia batuk hebat, keras sekali, berulang-kali. Aku sempat menyapa tapi ia tak bisa dengar karenanya," ujar Sam yang berada di seberangku.

Sam adalah yang termuda di antara kami. Dengan tubuh semampai dan kulit seputih riak yang kau keluarkan dari tenggorokanmu saat batuk berdahak, tak heran ia jadi favorit kebanyakan orang. Selain itu, ia pribadi yang optimis. Ia dikenal sebagai orang yang tak suka basi-basi serta selalu maju terus jika ada kesempatan apapun terbuka baginya. Meski begitu, sosoknya juga tak sempurna. Sam sempat berbisik pada KyKe, ia kadang merasa tak percaya diri dengan penampilannya, terutama pada bagian bibir yang menurutnya adalah malapetaka. Bibirnya memang mengerikan. Bibir atasnya kering dan kusam tak berona sedangkan bibir bawahnya bengkak-bengkak. Bekas luka kehitaman yang sudah kering tapi dipaksa untuk selalu basah turut menghiasinya pula. Pada bagian tengah bibir bawahnya, menyembul benjolan besar dengan nanah yang menetes sesekali jika pecah. Di sekitarnya, terukir guratan-guratan halus yang sama keringnya, bak menunggu giliran untuk ikut pecah di kemudian hari. Mengenai ucapan Sam atau segenap keluh kesahnya, aku hanya diam saja.

"Lalu bagaimana? Apa tidak sebaiknya kita pindahkan dia sebelum tempat ini tutup lima menit lagi?" KyKe panik.

Tubuh Pak Surya terkulai tak berdaya seperti jasad seorang anonim di ruang otopsi yang tak dirindukan keluarganya. Eh tunggu, ketika kami melentangkan badannya yang masih tengkurap, raga Pak Surya memang nampak seperti jasad anonim di ruang otopsi! Sontak kami berempat terpelanting ke belakang. Menjijikkan, dada Pak Surya mengaga lebar seperti sepatu Converse All-Star yang lima tahun dipakai bermain sepak bola tanpa jeda. 

Dada Pak Surya disobek membujur dari pangkal leher hingga pengujung diafragma. Kau bisa lihat berbagai macam jeroan yang tak dapat kau temui di pasar pagi : paru-paru yang teramat pekat, jantung kering tak berdarah yang terlanjur kaku kekuningan, atau potongan kulit sawo matang berceceran. Potongan itu, masih menyatu dengan daging yang tak lagi segar di langit-langit tenggorokan. Semua lengkap, kecuali tulang-tulang rusuk yang hilang dari tempatnya.

Sam muntah, banyak sekali. Saat ia menoleh, kuperhatikan sisa-sisa muntahan yang masih menetes dari mulutnya makin memperbusuk bibir busuknya lebih busuk lagi. 

KyKe menutup mata bayinya, takut wujud naas Pak Surya dan penampakan bibir Sam menjadi memori pertamanya. 

Pria telanjang yang mengaku titisan Ki dan Nyi Boro menyalak, "Biji sukun!! Demi Sang Hyang Sangkan Paran, ini di luar kendaliku! Dasar kucing erotis otak kutu, siapa pula yang tega membelek dada seorang penjaga gudang tua? Biadab!"

Aku bergeming, tak bersuara. Kutukan apapun yang kumuntahkan juga akan percuma, toh segala makianku hanya akan berbuah diam, seberapa kuatnya aku berseru.

Sambil terengah-engah, Sam meneriakiku, "Hei Arum! Andai tenggorokanmu belum bolong seperti sekarang, kira-kira serapah apa yang bakal kau teriakkan?"

Aku mengeja jawabanku sebisanya menggunakan sandi tangan.......


*

Listening to : Anri - Dancing Blue

Sunday, May 14, 2017

Makanan Pedas (Kecuali Seblak) dan Situs Perjodohan Online


Aku pertama kali mengenalnya lewat situs perjodohan online. Awalnya aku hanya ingin mencari teman makan, sampai kutulis itu di biografi singkat yang tertera di profilku. "Mencari teman makan. Bukan makan seafood, termasuk ikan air tawar. Lebih disukai jika suka makanan pedas (kecuali seblak), atau berkuah, dan bermecin." Hasilnya lumayan juga. Cocoknya selera makanan memang kadang sejalan dengan selera humor. 

Lori misalnya. Kami makan ayam geprek dengan kuah tongseng pada satu waktu. Ia sosok perempuan muda kekinian yang terlampau nasionalis. Kudengar semua kata sandi akun media sosialnya, terutama yang mengharuskan kombinasi angka, huruf, dan huruf besar, berisi tanggal hari-hari peringatan nasional, seperti hari kemerdekaan, sumpah pemuda, hingga kesaktian pancasila. Ia penggila pesimisme, dan mengamini pernyataan legendaris Soe Hok Gie yang diambil dari Friedrich Nietzsche, yang diambil dari seorang filsuf anonim Yunani, Nasib terbaik adalah tak pernah dilahirkan, yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda. Kurang lebih begitu. Cita-cita nya, pun, mati karena hipotermia di Gunung Semeru. Peniru, dunia ini dipenuhi peniru, pikirku. Sayangnya, sudah lima kali ia memuncaki Mahameru, tapi tak sekalipun berniat mati. Belum umur dua puluh tujuh, kelitnya. Jadi, dia ini mau masuk klub yang mana, sih?

Di lain hari, aku makan siang di warung Indomie bersama Nadia. Ia mengaku bekerja di sebuah kantor percetakan digital, bertugas membagikan nomor antrean, mempersilakan duduk, memanggil nama, mengambilkan permen, juga sesekali bercengkerama dengan pengunjung tetapnya. Nadia orang yang menarik, meski kubilang diperlakukan bak robot, ia malah tersenyum kambing, menyebut dirinya sendiri kaleng besi yang dikutuk untuk selalu bahagia dengan pekerjaannya. Baginya, bertemu orang-orang baru tanpa menjalin relasi lebih lanjut adalah taktik tersendiri untuk mengobati gangguan kecemasan yang ia derita. Maklum, ia terpaksa bersahabat dengan kekhawatiran berlebih acapkali seseorang mencoba menjadi temannya. Entah, mungkin ia mengidap trauma atau apalah, aku tak ingin mencampuri privasinya.

Hari ini, sekitar dua jam yang lalu, aku makan dengannya, dengan Tania. Dari semua perempuan yang kukenal lewat situs perjodohan itu, Tania lah yang paling cocok menemaniku makan soto babat, hanya saja hari ini aku sedang tidak ingin makan soto babat.

"Jadi yang benar sai-fai atau sai-fi?"
"Kau kuno, jaman sekarang orang mendebatkan wai-fai dan wai-fi."
"Lho, fiction dibaca fiksyen, bukan faiksyen."
"Dan fidelity dibaca fideliti, bukan faideliti, apalagi faidelitai."
"Hei, jangan mengolok. Aku tahu te-ye dibaca ti."

Percakapan enteng macam ini lah yang kusukai dari Tania. Lori terlalu serius dan Nadia terlalu sensitif. Salah berkata-kata, bisa-bisa aku harus mengeluarkan kemampuan khususku : mengalah. Mengalah itu sulit lho, aku harus membaca enam ratus tiga belas halaman buku Seni Mengalah Kontemporer, Panduan bagi Pria Pegiat Online Dating terjemahan Aris Suwandi dan mengulangnya tiga kali dalam sebulan agar ilmunya benar-benar khatam. Sungguh, mengalah menguras banyak tenaga. Apalagi setelah mengalah, aku juga diharuskan berikhlas. Itu artinya aku harus membaca edisi kedua buku Aris Suwandi (kali ini karangannya sendiri) yang lebih tebal seratus tujuh puluh halaman. Lagipula manusia tolol mana yang bilang ikhlas itu gampang? Ikhlasin aja udah. 

"Aku akan (kraus) bunuh diri saja (kraus). Rencananya besok (kraus) aku pergi ke kantor seperti biasanya (kraus) tapi langsung bergegas ke roof top," seorang wanita berpolo biru kedodoran di meja sebelahku meracau kesal.

"Lalu?" rekan kerjanya, tentu dengan setelan serupa—kurasa itu seragam kantor—menimpali. Ia tampak tak tertarik sedikitpun menanggapi temannya meracau. Namun, sebagai teman kantor yang baik, kurasa ia memaksa dirinya untuk lebih bersimpati terhadap temannya.

"Aku tinggal lompat (kraus) dan yah... kau dan seisi kantor (kraus) tak akan pernah mendengar keluhanku lagi. Mayatku akan tercerai-berai (kraus) di depan lobi dan si keparat itu (kraus) akan kaget saat membaca surat (kraus) yang akan kuselipkan di saku kanan celanaku," katanya menyudahi. Raut wajahnya tetap serius, meski sembari mengunyah gorengan kering khas warung.

Bodoh, batinku. Orang macam apa yang menceritakan rencana bunuh diri keras-keras di warung gulai ayam? Lagipula rencana itu tak ada spesial-spesialnya. Mungkin akan lebih baik kalau rencananya lebih rumit. Misalnya, mencongkel gigi geraham dengan pecahan botol kecap lalu makan garam tiga toples tanpa minum dan diakhiri dengan memasukkan gantungan kunci berbentuk koala ke dalam pantat. Pengunjung lain bisa saja tertegun saat menguping. Di masa ini, orang suka yang rumit-rumit tanpa harus mengetahui maksudnya.

"Ngomong-ngomong, aku pernah lho, mau bunuh diri," Tania seperti tahu apa yang kupikirkan. "Aku pernah berencana mengikat tubuhku di roket Taepodong II, berharap mati perlahan karena kedinginan atau kehabisan oksigen setelah memasuki stratosfer, lalu memejamkan mata dan menyimpan keindahan potret bumi dari ketinggian 20.000 meter sebagai memori terakhirku."

"Ntap, itu baru rencana bunuh diri yang komprehensif. Rencana yang terencana, itu baru rencana! Kenapa batal kau lakukan?"

"Yang benar saja! Tiket ke Pyongyang mahal, lagipula Taepodong II hanya tinggal propaganda usang. Bahkan Amerika melabelinya Penis Putih Raksasa yang Tak Bisa Ereksi, apa asyiknya mati menempel di penis impoten raksasa?"

Saat itu juga, kekalutan dan rasa takjub menyelimutiku dalam waktu bersamaan. Luar biasa, tak kusangka para penikmat makanan pedas (kecuali seblak), atau berkuah, dan bermecin yang bukan seafood, termasuk ikan air tawar, memiliki tendensi suicidal yang tinggi. Ini fakta mengejutkan. Seharusnya kutulis saja penemuan ini ke dalam sebuah artikel clickbait kekinian, Hati-hati, Inilah Bahaya Jika Kamu Tidak Makan Seafood, Termasuk Ikan Air Tawar, Tapi Suka Makanan Pedas (Kecuali Seblak), atau Berkuah, dan Bermecin! Aku yakin, artikel ini pasti menghasilkan traffic yang luar biasa besar. Orang yang hidup di abad ke-21 memang suka hal-hal trivial seperti itu. Atau apesnya, tidak lolos kurasi karena judulnya terlalu panjang. Yang pasti, fakta kecenderungan bunuh diri pemuda-pemudi generasi ini hampir bisa dipastikan disebabkan oleh jenis makanan yang kusukai.

"Heh! Kenapa melamun? Lagi mikirin soal mati ya?" ujar Tania sambil menowel tanganku.

Tunggu... Penulis-penulis yang dianggap hebat selalu membunuh karakter kesayangan mereka dalam fiksinya sendiri. Apa spesialnya kematian? Apa memang tak ada yang lebih asyik dari kematian? Apa akhir harus selalu diakhiri dengan kematian? Apa romantisnya kehampaan setelah nafasmu berhenti berhembus dan darahmu berhenti mengalir? 

Mungkin aku hanya tak paham seni yang dikandung kematian. Bagiku, ia hanya tidak hidup. Layaknya pepatah pengusung optimisme, kosong hanya berarti tidak berisi dan gelap hanya berarti tidak bercahaya.

Kalau dipikir-pikir, aku ini lumayan narsistik. Dan kalau aku ingin menganggap diriku sehebat penulis-penulis yang dianggap hebat, aku akan membunuh karakter-karakter kesayanganku. Aku akan membunuh Lori dengan ayam geprek cabe dua ratus biji hingga lambungnya menyusut menyerupai usus dan ususnya mengembang menyerupai lambung. Aku akan membunuh Nadia dengan Indomie goreng dobel kadaluarsa lima tahun yang ia temukan tak sengaja di gudang printer kantornya saat sedang jaga malam, dan Tania -maaf aku membunuhmu sebelum membuatmu lebih spesial- dengan soto babat yang mangkuknya dicuci dengan air bekas limbah rumah sakit di sebelahnya, kabarnya air itu mengalir dari ruang perawatan khusus hepatitis yang luber sejak seminggu lalu. Karena kesal, aku akan mengabulkan keinginan perempuan meja sebelah, dengan kematian membosankan yang sudah ia rencanakan matang-matang. Serta temannya -yang tidak begitu penting di kisah ini- dengan mati tersedak gorengan kering khas warung gulai ayam yang dibungkus dari sisa sehari sebelumnya karena kaget mengira temannya hanya bercanda. 

Dan aku. Aku akan membunuh aku dengan kematian yang lebih dahsyat dari segala cara mati yang pernah diciptakan manusia : hidup.

***

Listening to : Father John Misty - Ballad of the Dying Man