Tuesday, July 26, 2016

Mengungkap Siasat Jitu Adikuasa


Rumah tetanggaku ramai sesak.

"Tak ada yang aneh, mereka keluarga baik-baik, ramah, sopan."

Seorang wanita tua yang baru kulihat sore ini berbicara lantang seolah kenal baik dengan Pak Utha. Wajahnya bingung, nampak tidak dibuat-buat. Matanya sesekali melirik ke arah kamera. Beberapa kali ia membenarkan jilbabnya yang terburu-buru ia pakai saat keluar rumah. Hanya dirinya seorang yang diwawancarai beberapa stasiun televisi untuk kepentingan dokumentasi kasus yang langka ini.

Belum genap satu jam, warga komplek disibukkan oleh tiga truk anggota Densus 88 yang berjaga di sekitar lokasi. Mereka bersenjata lengkap, seperti tim SWAT yang sering kulihat di film Amerika. Keringat membasahi dahi mereka, sebagian melepas balaclava hitamnya. Tidak ada yang spesial, mereka hanya manusia berbisep besar.

Aku menyelinap ke salah satu van stasiun televisi, dari monitor kulihat wajah Pak Utha yang rusak sebelah. Tangannya menggenggam sesuatu, seperti handphone yang gosong. Staf yang berada di sana tampak bekerja keras memberi efek blur untuk sekujur tubuh Pak Utha. Ia sadar, jika stasiun sebelah lebih cepat melakukannya, masa depan karirnya dipertanyakan.

"Bukan untuk anak kecil," seseorang bertato logo superman di punggung tangannya mengangkatku dan memindahkanku ke tempat semula.

Aku kembali ke dalam rumah dan kuputuskan untuk menonton acara talk show saja.

Seorang pesulap kenamaan berambut nyentrik duduk di sofa panjang yang tampak nyaman. Ia menanyai bintang tamunya yang tidak begitu terkenal, yang bukan seorang bintang. Entah mengapa semua tamu disebut bintang tamu, meski bukan bintang.

"Tadi ke sini naik apa?" tanya pesulap itu sekedar basa-basi.

Sang tamu malu-malu, tersenyum kecil, dan berkata pelan, "Dianter suami."

"CIEEEEEEEE!" sorak sorai penonton membanjiri studio.

Aku termenung. Sejenak aku menengadah ke atas. Aku memandangi langit-langit, membayangkan seekor cicak mengintai nyamuk yang sedang asyik dengan cahaya lampu LED. Betapa ganjilnya nasib nyamuk, mengapa makhluk terbang seperti itu bisa berakhir dikunyah binatang melata?

Televisi ruang tengah kembali mencuri konsentrasiku. Tamu si pesulap adalah seorang wanita berjilbab, ia mengenakan sweater rajut merah yang tertutupi efek blur di bagian dadanya. Aku langsung ingat staff stasiun televisi di depan rumah.

"Daripada di dalam dan nonton acara nggak bermutu macam itu, lebih baik kau bantu aku bawakan meja. Aku sudah siapkan minuman untuk dijual," Anya menghiburku, untuk kepentingan dirinya sendiri.

"Tunggu, apa kau percaya Pak Utha..."

"Ada yang bilang, mereka salah orang," potong Anya sambil menaruh minuman di atas meja yang kubawa.

"Apa maksudmu?"

"Tidak mungkin orang pincang macam Pak Utha bisa merampok laboratorium nuklir di Janewa beberapa waktu lalu."

"Bagian mana yang tidak mungkin? Merampok laboratorium nuklir, atau ke Janewa?

"Keduanya. Kau pikir saja."

Anya menuangkan sirup berlabel patung liberty ke dalam gelas kosong. Sejak 1969. Aku memandanginya saksama, kurasa itu merupakan agenda konspirasi sang pendiri sirup untuk menyisipkan pesan-pesan pro liberal ke negara non-blok pada masa itu, lewat botol sirup. Mungkin saat itu sirup sudah seperti candu bagi ibu-ibu yang kalap membelinya tiap kali pergi ke department store. Atau bisa saja botol sirup lah yang menjadi koleksi bapak-bapak di lemari kaca mereka, sebelum akik menggesernya dari daftar barang koleksi terfavorit. Amerika sungguh jenius.

"Ngomong-ngomong, kau pasti ingat si pincang Keyser Soze," ucap Anya membuyarkan pikiranku. "Apa menurutmu Pak Utha selama ini memang perampok?"

"Soze cuma khalayan, idiot. Pada akhirnya semua orang tahu Soze hanya pura-pura pincang."

"Bagaimana jika Pak Utha juga pura-pura pincang?"

"Maka dia bukan Keyser Soze," jawabku yakin. "Keyser Soze lebih pintar dari polisi."

"Kau terlalu banyak nonton propaganda Amerika."


***

Listening to : Sufjan Stevens - Fourth of July


3 comments: