Wednesday, July 27, 2016

Jangan Melamun, Ini Bukan Cerita Rakyat


Sekelompok mahasiswa yang bermalam di Plawangan Sembalun mendapati kamera mereka memotret sosok Dewi Anjani. Sayang, hanya satu dari seribu foto yang didapat saat mereka memasangnya dalam mode burst otomatis. Ratu penjaga Rinjani itu berdiri tegap, lebih tinggi dari pepohonan di sekitarnya. Legenda bilang, ia cantik jelita. Kamera bilang, ia berkulit biru.

Ngeri.

Satu mahasiswa bergidik hebat, kepalan tangan tak berdaging yang hanya dilapisi kulit itu semakin membuat getarannya menggeliat, sementara tiga lainnya menyeringai. Mendapati figur mistis dalam bentuk properti digital secara kebetulan, tak ubahnya potensi finansial yang menggiurkan. Bagi mereka, peristiwa seseram ini dialterasi menjadi kehokian yang melebihi kemunculan Gyrados liar saat buang air besar sambil bermain Pokemon Go di toilet kosan teman.

Seminggu setelah turun gunung, mahasiswa ceking yang ketakutan itu, yang juga pemilik kamera, memberanikan diri menghapusnya. Sejujurnya, ia lebih takut pada ancaman teman-temannya yang ingin meraup keuntungan dari sensasi yang mereka temukan. Ia harus memilih untuk lebih takut kepada apa : takut kehilangan teman-temannya, atau mitos buruk yang terus ia dengar dari warga sekitar Rinjani selama perjalanan pulang.

Seorang filsuf perang dari serial televisi terkenal pernah berkata, "Hanya saat takut lah, manusia berubah menjadi berani." Selidik punya selidik, ungkapan pria bergelar Warden of The North itu menginspirasi si ceking untuk menghapus foto seram tersebut. Sungguh, pemuda setia kawan.

Bisa ditebak, teman-temannya murka. Mereka tidak sedang berakting, kemarahannya tidak sepalsu omelan mahasiswa senior saat masa orientasi kampus. Satu orang berkali-kali menghunus telunjuknya ke depan wajah si ceking. Yang lain memaki ganas hingga beberapa tetes liurnya terjun bebas ke piring-piring bekas.

"Goblok!" "Emang anak tai!" "Otak dengkul!" "Kontol mabur!".

Rupanya ia terlanjur berjanji, namun si ceking tidak bergeming. Ia percaya bahwa mata dan kameranya sudah saling memiliki satu sama lain. Meski didapat dalam mode otomatis, namun sosok ngeri Dewi Anjani terus menghantui tidurnya. Selama hidupnya, ia baru mengalami masa-masa sulit tidur belakangan ini. Terhitung lima hari ia tidak tidur. Ia hanya ingin bersikap realistis, sambil menimang-nimang perihal nasib persahabatan mereka atau kesehatan fisiknya. Tubuhnya terlalu lemah untuk menanggung masalah ini. Juga, sahabat yang baik tidak membiarkanmu terjaga lima hari penuh.

Bertahun-tahun sebelumnya, seorang wanita paruh baya di Puerto Rico mengaku diserang makhluk halus yang marah sosoknya terjepret kamera ponselnya. Polisi lokal tidak tahan terus-terusan ditelepon wanita ini dan terpaksa mengirimnya ke rumah sakit jiwa milik jemaat kongregasi setempat. Cerita itu menyebar cepat, sedikit demi sedikit warga yang tinggal di sekitar lokasi pengambilan foto pun memilih pindah ke kota sebelah. 

Si ceking agaknya malas jika dituding dinas pariwisata Lombok Timur sebagai biang kerok jatuhnya angka turis mereka. 

Ia terdiam dan memejamkan mata. Mencerna gemuruh sumpah serapah yang menyerbu dari dua sisi telinga. Tak pernah ia bayangkan, sebuah gerakan sederhana, memencet tombol erase, dapat membuyarkan ikatan yang terjalin selama tiga tahun. Ia melemaskan tangannya, lalu bangkit berdiri. Diambilnya pulpen Parker pemberian ayahnya dari saku kemejanya, dengan cekatan ia menusukkan ujung pulpennya ke tangan temannya yang daritadi memamerkan telunjuknya. Lalu ia bergegas mengambil asbak dari atas meja dan memukulkannya berkali-kali ke dua sisa temannya. Abu-abu rokok berterbangan, seirama dengan setiap hantamannya ke tengkorak belakang ketiga temannya yang terus memohon ampun.

Seisi kantin terperangah, diam tak beranjak. Beberapa mahasiswi kesulitan menahan jeritannya. Butuh beberapa menit untuk membuat tiga sahabat sang pemilik kamera terbujur kaku. Di sela-sela engahan nafasnya, ia merapikan kemejanya dan bergegas pergi.

Keesokan harinya, si ceking terbangun dari tidurnya. Ia tersenyum lebar diiringi pemandangan indah Danau Segara Anak dan puncak Gunung Agung yang mengintip di baliknya. Terbesit beberapa hal di otaknya seperti janji bertemu kajur untuk minta tanda tangan yang kandas dua hari lalu karena alasan yang itu lagi itu lagi, hingga soal mimik wajah manis wanita muda yang semalam mampir di mimpinya. Wajahnya nampak familiar, ia pikir. Dari setiap mimpi indah bersama wanita, 90% pria pasti melupakannya setelah bangun. Blank. Hilang begitu saja. Bahkan kabarnya konvensi psikologi di Arizona yang dihadiri profesor-profesor psikologi klinis dari seluruh dunia telah menyepakati hal ini. Namun, ia yakin, ia ingat betul setiap detail paras wanita itu memang pernah ia lihat sebelumnya. Tapi ia tidak peduli.

Ia keluar dari tenda untuk memasak air dan menyeduh kopi. Setelah mendidih, ia masuk ke dalam tenda, hendak membangunkan tiga sahabatnya yang masih tidur terbungkus sleeping bag seperti kepompong yang memilih untuk tidak melanjutkan siklus metamorfosis. Seperti biasa, ia menarik resleting sleeping bag selebar-lebarnya agar udara dingin langsung menusuk tulang-tulang mereka.

Namun, apa yang berada di dalamnya tidak ia kenal. Sosok itu pucat, juga lebih muram dari sahabatnya. Lekukan punggungnya tak wajar, sesuatu pasti telah terjadi pada pria ini. Ia membuka sleeping bag lainnya, kali ini sesosok gadis dengan kupluk warna pink. Gadis itu terlihat sehat, tidak seperti pria di sampingnya. Banyak hal lalu lalang di pikiran si ceking, kakinya mendadak lemas, wajahnya dipenuhi tanda tanya. Tak lama, gadis itu bangun. Tangan mungilnya menyeka keringat dingin yang membasahi pelipisnya.

Siapa gadis ini? Siapa pria pucat ini? Dan siapa lagi yang berada di sleeping bag terakhir?

"Jangan dibuka," suara gadis itu parau.

Terlambat, sleeping bag terakhir terlanjur dibuka. Di situ terbaring seorang pria tua. Sekujur kulitnya terbungkus oleh kerutan-kerutan halus yang diselingi flek kecoklatan.

"Hei, aku tahu jaket ini. Ini jaketku!", ucapnya lemah.

"Sudah kubilang jangan dibuka..."

"Kau tidak mengenalinya?", tanya pria pucat di sebelah, baru bangun dari tidurnya. "Pasti kau tak ingat apa-apa ya."

"Tunggu.... dia mirip denganku...."

Pria pucat itu menatap si gadis, lalu menghela nafas. Ia menyuruh gadis itu untuk memberitahunya sesuatu.

"Ini pertama kalinya bagimu?", tanya gadis itu. Tapi si ceking tidak berkata apapun, kini ia telah menyadari semuanya. Mulutnya menganga melihat sosok tua nya terbaring di sana. "Kau akan segera terbiasa. Kau bukan satu-satunya di sini, masih banyak yang lain." lanjutnya.

"Boleh kutahu, siapa kau?"

"Kenalkan, aku Jani. Dan dia.."

"Aku Anom. Makanya, jangan banyak melamun."



***

Listening to : Laura Marling - Devil's Spoke

0 comments:

Post a Comment