Tuesday, October 25, 2016

Senja di Manggarai


Kereta terakhir berangkat dari Stasiun Manggarai. Hujan kembali datang setelah tak lama pergi. Di antara tembok-tembok penuh graffiti, aku bertanya kepada diriku sendiri, mengapa harus diriku? Mengapa selalu diriku? Rasa kesal sekaligus penasaran menusukku bergantian. Aku ingat selebrasi gol Mario Balotelli ke gawang Manchester United yang kontroversial itu, memamerkan kaos bertuliskan "Why always me?" disertai mimik wajah yang penuh emosi. Kini, aku tahu rasanya.

Lima jam yang lalu, aku pergi ke bioskop dengan Mila, rekan kerjaku. Sepanjang menonton film, terdengar kikikan khasnya beberapa kali. Jika kuingat-ingat, suara itu terdengar di bagian film yang tidak lucu sama sekali, setidaknya buatku.

Seusai nonton, kutanya dia soal hal yang menggelitiknya sepanjang film.

"Memangnya apanya yang lucu? Tadi itu film drama thriller, tapi kau tak ada tegang-tegangnya".

"Siapa bilang aku tak tegang? Kau harus tahu, tak mudah menulis skenario film secantik itu. Plotnya sangat rapat, detailnya hampir sempurna. Aku tertawa saking kagumnya".

"Jadi, maksudmu tak ada hal yang lucu?

"Bukan begitu, aku hanya heran, apa yang dibayangkan orang-orang itu waktu menulis filmnya. Maksudku, kau tau lah, setiap detik, banyak hal yang tak sadar kau lakukan secara otomatis, seperti rasa risih melihat air embun dari botol minum dingin yang menggenang di atas meja, lalu kau mengambil tissue untuk mengelapnya, kemudian kau curi-curi pandang memperhatikan proses kapilaritas tissue yang mulai basah itu. Orang-orang ini, cukup peka memasukkan hal-hal semacam itu ke dalam frame demi frame," kata Mila dengan tempo cepat, tangannya bergerak-gerak mencoba membuat rekaan visual tentang apa yang ia jelaskan.

"Aku mengerti. Ternyata kau suka yang seperti itu", timpalku sedikit ketus. Sejujurnya aku suka pembahasan seperti ini, tapi aku terlalu lelah untuk melanjutkannya.

Mila memang cerewet. Di sela-sela kecerewetannya, aku paling suka cara hidungnya kembang kempis setiap kali cekikikan. Apalagi jika angin kencang meniup rambutnya dari belakang ke depan hingga menutupi wajahnya. Dengan rambut seperti ditambah kikikan khasnya, bentuk Mila seperti Sadako yang sedang tersedak kacang polong.

***

Kami berdua berjalan kaki melewati jalan aspal yang becek, lalu berhenti di sebuah warung makanan Jepang. Aku memesan miso ramen dengan irisan daging sapi, sementara Mila membuka bekalnya. 

Antrean masakan saat itu lebih panjang dari biasanya, jadi kami hanya duduk menunggu sambil menyalakan smartphone masing-masing. Sudah jadi aturan tak tertulis bagi kami, tidak ada smartphone di antara kami selagi menonton.

"Kau sudah tau, setelah ini kau mau apa?", Mila membuka obrolan sambil memasukkan smartphone-nya ke tas kecilnya. "Maksudku, setelah kau resmi resign tadi sore".

Aku hanya diam dan menggelengkan kepala. Giliranku memasukkan smartphone ke dalam saku.

"Hey, apa pun keputusanmu, jangan pernah kau sesali", hibur Mila. Tiap kali Mila berkata bijak, senyumnya selalu mengikuti. Tak ada orang yang tak merasa teduh dibuatnya. Wanita ini istimewa.

"Tidak, hanya saja, terlalu banyak yang terjadi belakangan ini. Semuanya masih terngiang di kepalaku".

Aku tidak bohong. Kemarin, adikku masuk rumah sakit setelah dikeroyok teman-temannya di sekolah barunya. Ini sudah ketiga kalinya, hanya saja kali ini yang paling parah. Tengkorak belakang adikku retak dan tiga tulang rusuknya patah. Polisi juga memberi tahu bahwa tulang mata kakinya pecah akibat pukulan benda tumpul. Sebelumnya, adikku harus pindah-pindah sekolah karena alasan serupa. Penyebabnya pun mudah ditebak. Dua tahun lalu, aku mendengar berita tentang kemunculan ayahku yang sejak kecil sudah menghilang dari hidupku. 

Yang kutahu dari ayahku hanyalah, ia tumbuh sebagai yatim piatu yang memiliki pendirian keras. Ibuku sering bercerita tentang betapa gagahnya ayahku membela diri jika orang lain menghina apa yang ia yakini. Ibu juga menggambarkan ayahku sebagai sosok idealis yang berani menentang segala tindakan opresi orde baru di kampungku saat itu. Dari cara ibu bercerita, sudah jelas ia masih dan akan selalu mengagumi ayah, meski ayah memilih meninggalkan ibu dan anak-anaknya tanpa pamit.

Tiba-tiba, aku menjumpai wajahnya yang sudah samar dalam ingatanku lewat video YouTube yang dikirim oleh teman pesantrenku di kampung. Tidak lama setelah ledakan bom di Manhattan, New York, awal tahun itu, tampak ayahku dan beberapa temannya mengklaim teror itu sebagai buah tangannya. Gedung yang dikenal sebagai Wall Street Building itu luluh lantak, dengan korban lebih dari 500 jiwa. Seluruh dunia berkabung. Berita soal itu pun tersebar luas, semua orang membicarakannya. Di Indonesia, tentu hal ini menjadi sebuah sensasi. Apalagi karena dalang teror di ibukota ekonomi dunia itu ternyata seorang warga Indonesia.

Imbasnya, saat itu ibuku harus berurusan dengan pihak intelejen, polisi, wartawan, hingga semua orang yang hanya sekedar ingin memastikan kabar itu. Tak hanya itu, ibuku kehilangan pekerjaannya. Bukan dipecat karena mantan suaminya adalah seorang teroris kelas kakap, tapi karena terlalu sibuk menghadiri pertemuan dengan orang-orang yang ingin mengorek informasi lebih dalam lagi. Lebih parah lagi, seketika itu juga, keluarga besar kami seakan tidak ingin berurusan dengan kami. Mereka membiarkan kami menanggung beban ini sendirian.

Saat itu, ibuku tidak ingin anak-anaknya terlibat lebih jauh dalam kondisi ini. Ia melarang wartawan mewawancaraiku atau adikku, yang bahkan belum akil balik. Ia tidak tega menambah tekanan dua orang bocah yang masih tenggelam dalam kekalutan yang tak bisa dijelaskan.

Semenjak kejadian itu, ibu dan adikku harus pindah-pindah rumah. Di saat yang sama, aku sudah pindah ke Depok untuk kuliah di Universitas Indonesia. Sebagai anak tertua, aku merasa berkewajiban memberi sumbangsih lebih bagi keluargaku, terutama di masa-masa sulit kala itu. Aku sempat bekerja sambilan menjadi barista di coffee shop ternama di dekat kampus. Aku harus menjalani kuliah di siang hari, dan mengambil shift ekstra tiap malam. Untungnya, kehidupan sosialku tak terhambat karena teman-temanku juga sering datang ke tempatku bekerja, apalagi pekerjaanku bisa dibilang santai.

Belakangan ini, ibuku masih disibukkan dengan urusan ayahku sementara aku bekerja sebagai financial advisor di sebuah firma keuangan. Setiap siang, kami saling menelepon menanyakan kabar masing-masing. Baik aku maupun ibuku saling memberi kabar baik satu sama lain, meski kami berdua tahu, kami sama-sama berbohong. Di tengah apa yang menimpanya, ibu selalu menekankan betapa penting menjaga kesehatan. Dari yang kutahu, ibu sendiri lah yang memaksakan diri untuk membela habis-habisan mantan suaminya itu. Meski sudah berpisah, tetapi ibu selalu berpikir ayahku masih lah orang yang sama. Hal itu menguras tenaganya. Terakhir kali kulihat foto ibu di media, aku seperti tidak mengenalinya. Berat badannya menyusut drastis, kantung matanya semakin jelas terlihat. Kerutan-kerutan di sekujur wajahnya terlihat jelas mengintip dari balik makeup-nya. Namun, satu yang tidak berubah, matanya yang tajam menyimpan semangat untuk membuktikan sesuatu.

Kukira tidak ada yang lebih buruk dari semua hal yang sudah kulalui. Tapi aku salah. Kejadian itu bermula kemarin siang. Berita tentang meninggalnya ayahku menggema di semua media. Ayahku dikabarkan tewas saat drone operasi gabungan sekutu menggempurnya di pinggiran kota Al Raqqa, Syria Utara. Foto tubuh ayahku yang sudah terkoyak-koyak berlumuran darah dan debu tersebar di mana-mana. Hal itu tentu menjadi berita gembira bagi kebanyakan warga di seluruh dunia dan sejujurnya begitu pula bagiku, tapi tidak untuk ibuku. Seketika itu juga, Ibu menangis tak berdaya. Di waktu yang sama, teman-teman adikku mengolok-oloknya di sekolah. Mereka merayakan kematian ayahku tepat di depan muka adikku. Meski adikku juga benci kepada ayah, lama-kelamaan kalimat yang dilontarkan teman-temannya membuatnya geram. Tak tahan diperolok, adikku bangkit melawan. Tapi apa daya, ia malah babak belur. Ada yang bilang, bahkan beberapa guru ikut memukulinya. Kondisi ini memaksaku untuk cepat-cepat pulang dan aku tahu ini saatnya aku turun gunung untuk mengurus keluargaku. Maka dari itu, tadi pagi aku putuskan untuk resign saja. Untung atasanku mengerti keadaanku, jadi aku tak perlu mengikuti kebijakan resignation notice seperti karyawan kebanyakan. Aku bisa langsung berhenti bekerja.

Bagiku, nonton film bersama Mila adalah satu-satunya jalan untuk menjaga kualitas spiritualku tetap pada treknya. Bagiku, bersama Mila adalah satu-satunya sumber penghiburan yang bisa menutup kekalutan yang sedang kulalui. Lagipula, jadwal penerbanganku masih dini hari nanti.

"Hey! Jangan bengong! Makananmu sudah datang", Mila membangunkanku dari lamunan. "Aku memang tak bisa membayangkan apa yang kau rasakan, makanya aku di sini untuk menghiburmu. Jadi jangan malah membuatku ikut bersedih".

"Maaf, Mil. Aku juga bingung harus bagaimana."

"Sudah, habiskan dulu makananmu, lalu antar aku ke Manggarai. Sebagai tanda perpisahan, kita harus foto untuk kenang-kenangan! Aku tak mungkin mengunjungimu jauh-jauh ke Aceh, bukan?".

"Memangnya kenapa?"

"Hmm...", Mila berhenti sejenak, "Bukankah kau pernah bilang masuk ke kampungmu saja aku tidak boleh, ya?".

"Boleh saja, asal kau pakai kerudung. Semua orang akan menyangkamu Muslim".

"Kau bercanda, tidak ada Muslim yang memiliki ini", kata Mila sambil menunjukkan tattoo salib mungil di pergelangan tangannya.

"Hahaha... Kau tutupi saja dengan jam tanganmu", jawabku terkekeh.

***

Dua jam berlalu sejak kami berada di warung itu. Langit yang tadinya kemerahan sudah berubah gelap. Lampu-lampu jalan dan kendaraan bermotor mulai memenuhi jalanan Menteng. Bisingnya mesin-mesin mobil serta klakson yang saling bersahutan menjadi hal yang akan selalu kurindukan dari Jakarta, selain Mila tentunya. Aku dan Mila berjalan perlahan menyusuri trotoar yang mulai kering menuju stasiun Manggarai. Beberapa anak kecil berlarian mendahului kami. Kulihat salah satunya memakai kaos biru muda bergaris putih bertuliskan Messi dengan nomor 10 di punggungnya. Salah satu anak lainnya memakai kaos merah dengan nama Ibrahimovic.

"Lihat, Messi dan Ibrahimovic sekarang sudah akur", kata Mila cekikikan.

Mila suka sekali dengan Messi, sedangkan aku mengidolakan Ibrahimovic. Messi dan Ibrahimovic dikabarkan tidak pernah akur, meski keduanya saling mengagumi. Begitu pula aku dan Mila.

"Kalau kita, kapan akurnya?"

"Tentu bisa, kau tahu syaratnya."

"Kau tahu kan, buatku yang kafir ini, itu bukan pokok masalahnya. Aku harus melangkahi dulu mayat ibuku sebelum bisa pindah agama.", jawabku bercanda.

"Kau ini, jaga bicaramu."

Meski kami memeluk agama yang berbeda, hal itu tidak menjadi masalah besar bagi kami masing-masing. Aku dan Mila sama-sama bukan pemeluk agama yang taat. Bahkan, lelucon soal keyakinan kami pun sudah menjadi santapan kami sehari-hari. Tentunya, terkadang lelucon ini bisa berakhir menjadi debat yang tegang dan panjang. Tapi, kami selalu menikmatinya. Kami sadar, satu-satunya yang menjadi penghalang hubungan kami hanya orang tua kami. Kami sering bercanda, siapapun yang kehilangan orang tuanya lebih dulu, dia lah yang harus pindah agama. Oleh karena itu, berteman seperti ini pun tidak masalah walaupun rasa kagum memang tumbuh di antara kami.

Kami berdua tertawa kecil hingga pintu masuk stasiun. Selama beberapa saat, tidak ada satu pun kalimat keluar dari mulut kami. Kami hanya saling menatap, menghabiskan sisa-sisa waktu terakhir bersama dalam diam, berusaha memahami perasaan satu sama lain lewat keheningan, berusaha memetakan segala kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan, dan pada akhirnya kami hanya bisa tersenyum.

"Cukup lah, keretaku sudah di sini. Aku pamit, Rif. Ingat, kau harus kuat!", kata Mila mencairkan suasana sambil menyiapkan kartu tiket elektroniknya.

Aku hanya bisa tersenyum sambil melambaikan tangan. Hanya itu yang bisa kulakukan meski aku tahu, setelah ini aku mungkin tak akan bertemu lagi dengan Mila.

"Oh iya, Rif. Kabari aku jika kau benar-benar pindah agama! Hahaha selamat tinggal!", tungkas Mila diakhiri dengan kikikan pamungkas, yang mungkin terakhir kali kudengar langsung.

Mila berlari masuk ke dalam stasiun sambil melambaikan tangan. Aku membalasnya dengan membentuk gestur telepon di samping telinga. Bibirku membentuk isyarat bahwa aku akan meneleponnya sesampainya aku di kampung.

Tak lama, smartphone-ku bergetar. Muncul wajah pamanku di layar smartphone. Pamanku dari keluarga ibu menelepon. Terakhir kali aku menjumpainya, wajahnya yang penuh amarah lah yang mengeluarkan kata-kata kasar kepada ibu, berkali-kali mengemukakan rasa malunya karena hal yang dilakukan ayahku. Saat itu pula, disaksikan puluhan orang, dengan emosi pamanku mengusir kami dari keluarga besarnya. 

Aku tidak menjawab panggilan telepon pamanku. Hingga beberapa kali kutolak panggilan teleponnya, akhirnya ia mengirim pesan singkat.

"Arif, cepat pulang. Terjadi sesuatu di rumah sakit."

Perasaanku tak enak. Aku segera melupakan masalah pamanku dan segera meneleponnya.

"Assalamualaikum. Maaf, Paman. Kenapa adikku?"

"Walaikumsalam Rif. Bukan adikmu. Ibumu...."

Ibuku ditemukan di sebelah adikku yang masih koma di rumah sakit, tertelungkup kaku dengan mulut berbusa tanpa meninggalkan sepucuk surat pun kecuali sebuah gelas dan sebotol pembasmi serangga di kamar mandi rumah sakit. Tak ada lagi sorot mata tajamnya, juga, tak ada lagi kobaran semangat yang terpancar dari dalamnya. Yang ada hanya sepasang bola mata penuh dengan rasa putus asa. Tatapan kosong yang seolah memberi tahu tiada masa depan yang bisa ia perjuangkan, meski ia sadar kehadiranku dan bahkan adikku yang tengah sekarat.

Tubuhku gemetar. Mulutku komat kamit seperti ingin mengucap sesuatu yang aku sendiri tak tahu apa. Udara di sekitarku menjadi lebih dingin dari biasanya. Rasa kesal dan penasaran menusukku bergantian. Kesal, pada orang-orang yang bertindak konyol karena sesuatu yang kau sebut "cinta" yang terlalu erat pada orang lain. Penasaran, soal alasan rasional seseorang yang mengatasnamakan "cinta" untuk melakukan tindakan-tindakan konyol. Seperti ayahku pada keyakinannya. Seperti ibuku pada mantan suaminya. Seperti adikku pada harga dirinya.

Kenapa harus diriku? Kenapa selalu diriku? Bukan... Kenapa harus orang-orang di sekitarku?

Entah apa yang harus kusampaikan pada Mila yang baru beberapa menit lalu mengucapkan salam perpisahan buatku, dan di saat yang sama aku kehilangan orang tuaku tanpa sempat berpamitan. Aku harap ini hanya bagian dari plot sempurna yang Mila ceritakan.

Yang jelas, beberapa menit lalu, aku memang sudah memetakan kondisi ini dari segala kemungkinan yang bisa terjadi saat menatap mata Mila. Akhirnya, yang bisa kulakukan hanya tersenyum dan berjalan pulang, tanpa menengok ke belakang.



***

Listening to : Nogizaka46 - Sayonara No Imi

Friday, July 29, 2016

Surat Cinta Sarjana Muda


Apa yang lebih buruk dari sarang tawon yang tiba-tiba ada di slider korden jendela kamarmu?

Mungkin ada. Banyak, malah. 

Koloni semut yang biasa lewat jalur itu kini harus memutar lebih jauh agar terhindar dari keluarga serangga predator itu. Bersyukurlah mereka, meski kelasnya teri, tawon lah penguasa rantai makanan.

Tunggu, tawon tak memangsa semut. Ingat A Bug's Life? Mereka cuma memperbudak semut!

Mari kita revisi : Bersyukurlah mereka akan punahnya cicak. Ketidakseimbangan alam yang digadang-gadang terjadi karena perubahan iklim akhirnya benar-benar datang. Konon katanya bangsa reptil tidak tahan panas, setidaknya itu yang kupelajari ketika nonton Jurassic Park, bukannya National Geographic. Separuh dari mereka mati dalam kurun setahun setelah organisasi sains internasional menyepakati patokan suhu kamar kini berada di angka tiga puluh satu derajat Celcius, naik satu derajat dari tahun lalu.

Hanya sedikit yang tahu, suhu harian di Tel Aviv bahkan telah mencapai empat puluh derajat Celcius. Kau boleh bertanya, untuk apa Tuhan menjanjikan tanah Kanaan pada orang Israel, jika belum genap tiga ribu lima ratus tahun pun tanah terjanji terasa lebih dekat dengan neraka?

Tidak semua manusia bersedih. Perubahan iklim yang ekstrem dipandang sebagai sesuatu yang menggembirakan bagi segelintir orang, seperti sales otomotif misalnya, atau bosnya, terutama. Kenaikan permintaan kendaraan roda empat melonjak naik dari tahun ke tahun, berbanding lurus dengan kebutuhan dimensi ruang, bagi masyarakat kota, khususnya.

Berbahagialah kalian wahai putra-putri Adam, jika warisan dalam bentuk rumah masih jadi tradisi keluarga kalian. Atau setidaknya, nama kalian lah yang terlanjur tercatat pada moda investasi jangka panjang yang dikelola oleh perusahaan venture capital ternama.

Kini kita semua tahu, tikus got pun harus rela berbagi tempat berteduhnya dengan ratusan kecoa terbang. Keberanian mereka menyeberang jalan raya—dan tergencet hingga tercerai berai—yang termahsyur itu kini tinggal legenda. Lebih banyak kendaraan yang berhenti dibanding yang melaju. Orang-orang yang dulu selalu mengutuk situasi macam ini, sekarang jadi terbiasa karenanya. Secara empiris, waktu tempuh bertambah berkali-kali lipat lebih lama. Secara bisnis, negaramu kini tak berkembang.

Menyetel musik dengan volume kencang tidak lagi menjadi tren. Tetanggamu bisa menggorokmu tiba-tiba, seperti yang terjadi di rusun sebelah baru-baru ini. Bercengkerama hingga tengah malam pun mereka tidak berani. Setidaknya, meminimalisir kebisingan jadi norma yang terlalu diagungkan.

Ah, nikmatnya menyedot seplastik nutrisari jeruk dingin saat kau tak tahu apa yang akan kau lakukan untuk hidupmu dua puluh jam ke depan. Akankah kau lagi-lagi sengaja melewatkan siangmu yang panas dengan terbang ke dunia imajiner, atau tetap menunggu email balasan tim rekrutmen dan terus menerus mengutuk dirimu sendiri?

Oke, mungkin itu lebih buruk dari sarang tawon di slider korden jendela kamarku.



***

Listening to : First Aid Kit - Walk Unafraid

Wednesday, July 27, 2016

Jangan Melamun, Ini Bukan Cerita Rakyat


Sekelompok mahasiswa yang bermalam di Plawangan Sembalun mendapati kamera mereka memotret sosok Dewi Anjani. Sayang, hanya satu dari seribu foto yang didapat saat mereka memasangnya dalam mode burst otomatis. Ratu penjaga Rinjani itu berdiri tegap, lebih tinggi dari pepohonan di sekitarnya. Legenda bilang, ia cantik jelita. Kamera bilang, ia berkulit biru.

Ngeri.

Satu mahasiswa bergidik hebat, kepalan tangan tak berdaging yang hanya dilapisi kulit itu semakin membuat getarannya menggeliat, sementara tiga lainnya menyeringai. Mendapati figur mistis dalam bentuk properti digital secara kebetulan, tak ubahnya potensi finansial yang menggiurkan. Bagi mereka, peristiwa seseram ini dialterasi menjadi kehokian yang melebihi kemunculan Gyrados liar saat buang air besar sambil bermain Pokemon Go di toilet kosan teman.

Seminggu setelah turun gunung, mahasiswa ceking yang ketakutan itu, yang juga pemilik kamera, memberanikan diri menghapusnya. Sejujurnya, ia lebih takut pada ancaman teman-temannya yang ingin meraup keuntungan dari sensasi yang mereka temukan. Ia harus memilih untuk lebih takut kepada apa : takut kehilangan teman-temannya, atau mitos buruk yang terus ia dengar dari warga sekitar Rinjani selama perjalanan pulang.

Seorang filsuf perang dari serial televisi terkenal pernah berkata, "Hanya saat takut lah, manusia berubah menjadi berani." Selidik punya selidik, ungkapan pria bergelar Warden of The North itu menginspirasi si ceking untuk menghapus foto seram tersebut. Sungguh, pemuda setia kawan.

Bisa ditebak, teman-temannya murka. Mereka tidak sedang berakting, kemarahannya tidak sepalsu omelan mahasiswa senior saat masa orientasi kampus. Satu orang berkali-kali menghunus telunjuknya ke depan wajah si ceking. Yang lain memaki ganas hingga beberapa tetes liurnya terjun bebas ke piring-piring bekas.

"Goblok!" "Emang anak tai!" "Otak dengkul!" "Kontol mabur!".

Rupanya ia terlanjur berjanji, namun si ceking tidak bergeming. Ia percaya bahwa mata dan kameranya sudah saling memiliki satu sama lain. Meski didapat dalam mode otomatis, namun sosok ngeri Dewi Anjani terus menghantui tidurnya. Selama hidupnya, ia baru mengalami masa-masa sulit tidur belakangan ini. Terhitung lima hari ia tidak tidur. Ia hanya ingin bersikap realistis, sambil menimang-nimang perihal nasib persahabatan mereka atau kesehatan fisiknya. Tubuhnya terlalu lemah untuk menanggung masalah ini. Juga, sahabat yang baik tidak membiarkanmu terjaga lima hari penuh.

Bertahun-tahun sebelumnya, seorang wanita paruh baya di Puerto Rico mengaku diserang makhluk halus yang marah sosoknya terjepret kamera ponselnya. Polisi lokal tidak tahan terus-terusan ditelepon wanita ini dan terpaksa mengirimnya ke rumah sakit jiwa milik jemaat kongregasi setempat. Cerita itu menyebar cepat, sedikit demi sedikit warga yang tinggal di sekitar lokasi pengambilan foto pun memilih pindah ke kota sebelah. 

Si ceking agaknya malas jika dituding dinas pariwisata Lombok Timur sebagai biang kerok jatuhnya angka turis mereka. 

Ia terdiam dan memejamkan mata. Mencerna gemuruh sumpah serapah yang menyerbu dari dua sisi telinga. Tak pernah ia bayangkan, sebuah gerakan sederhana, memencet tombol erase, dapat membuyarkan ikatan yang terjalin selama tiga tahun. Ia melemaskan tangannya, lalu bangkit berdiri. Diambilnya pulpen Parker pemberian ayahnya dari saku kemejanya, dengan cekatan ia menusukkan ujung pulpennya ke tangan temannya yang daritadi memamerkan telunjuknya. Lalu ia bergegas mengambil asbak dari atas meja dan memukulkannya berkali-kali ke dua sisa temannya. Abu-abu rokok berterbangan, seirama dengan setiap hantamannya ke tengkorak belakang ketiga temannya yang terus memohon ampun.

Seisi kantin terperangah, diam tak beranjak. Beberapa mahasiswi kesulitan menahan jeritannya. Butuh beberapa menit untuk membuat tiga sahabat sang pemilik kamera terbujur kaku. Di sela-sela engahan nafasnya, ia merapikan kemejanya dan bergegas pergi.

Keesokan harinya, si ceking terbangun dari tidurnya. Ia tersenyum lebar diiringi pemandangan indah Danau Segara Anak dan puncak Gunung Agung yang mengintip di baliknya. Terbesit beberapa hal di otaknya seperti janji bertemu kajur untuk minta tanda tangan yang kandas dua hari lalu karena alasan yang itu lagi itu lagi, hingga soal mimik wajah manis wanita muda yang semalam mampir di mimpinya. Wajahnya nampak familiar, ia pikir. Dari setiap mimpi indah bersama wanita, 90% pria pasti melupakannya setelah bangun. Blank. Hilang begitu saja. Bahkan kabarnya konvensi psikologi di Arizona yang dihadiri profesor-profesor psikologi klinis dari seluruh dunia telah menyepakati hal ini. Namun, ia yakin, ia ingat betul setiap detail paras wanita itu memang pernah ia lihat sebelumnya. Tapi ia tidak peduli.

Ia keluar dari tenda untuk memasak air dan menyeduh kopi. Setelah mendidih, ia masuk ke dalam tenda, hendak membangunkan tiga sahabatnya yang masih tidur terbungkus sleeping bag seperti kepompong yang memilih untuk tidak melanjutkan siklus metamorfosis. Seperti biasa, ia menarik resleting sleeping bag selebar-lebarnya agar udara dingin langsung menusuk tulang-tulang mereka.

Namun, apa yang berada di dalamnya tidak ia kenal. Sosok itu pucat, juga lebih muram dari sahabatnya. Lekukan punggungnya tak wajar, sesuatu pasti telah terjadi pada pria ini. Ia membuka sleeping bag lainnya, kali ini sesosok gadis dengan kupluk warna pink. Gadis itu terlihat sehat, tidak seperti pria di sampingnya. Banyak hal lalu lalang di pikiran si ceking, kakinya mendadak lemas, wajahnya dipenuhi tanda tanya. Tak lama, gadis itu bangun. Tangan mungilnya menyeka keringat dingin yang membasahi pelipisnya.

Siapa gadis ini? Siapa pria pucat ini? Dan siapa lagi yang berada di sleeping bag terakhir?

"Jangan dibuka," suara gadis itu parau.

Terlambat, sleeping bag terakhir terlanjur dibuka. Di situ terbaring seorang pria tua. Sekujur kulitnya terbungkus oleh kerutan-kerutan halus yang diselingi flek kecoklatan.

"Hei, aku tahu jaket ini. Ini jaketku!", ucapnya lemah.

"Sudah kubilang jangan dibuka..."

"Kau tidak mengenalinya?", tanya pria pucat di sebelah, baru bangun dari tidurnya. "Pasti kau tak ingat apa-apa ya."

"Tunggu.... dia mirip denganku...."

Pria pucat itu menatap si gadis, lalu menghela nafas. Ia menyuruh gadis itu untuk memberitahunya sesuatu.

"Ini pertama kalinya bagimu?", tanya gadis itu. Tapi si ceking tidak berkata apapun, kini ia telah menyadari semuanya. Mulutnya menganga melihat sosok tua nya terbaring di sana. "Kau akan segera terbiasa. Kau bukan satu-satunya di sini, masih banyak yang lain." lanjutnya.

"Boleh kutahu, siapa kau?"

"Kenalkan, aku Jani. Dan dia.."

"Aku Anom. Makanya, jangan banyak melamun."



***

Listening to : Laura Marling - Devil's Spoke

Tuesday, July 26, 2016

Mengungkap Siasat Jitu Adikuasa


Rumah tetanggaku ramai sesak.

"Tak ada yang aneh, mereka keluarga baik-baik, ramah, sopan."

Seorang wanita tua yang baru kulihat sore ini berbicara lantang seolah kenal baik dengan Pak Utha. Wajahnya bingung, nampak tidak dibuat-buat. Matanya sesekali melirik ke arah kamera. Beberapa kali ia membenarkan jilbabnya yang terburu-buru ia pakai saat keluar rumah. Hanya dirinya seorang yang diwawancarai beberapa stasiun televisi untuk kepentingan dokumentasi kasus yang langka ini.

Belum genap satu jam, warga komplek disibukkan oleh tiga truk anggota Densus 88 yang berjaga di sekitar lokasi. Mereka bersenjata lengkap, seperti tim SWAT yang sering kulihat di film Amerika. Keringat membasahi dahi mereka, sebagian melepas balaclava hitamnya. Tidak ada yang spesial, mereka hanya manusia berbisep besar.

Aku menyelinap ke salah satu van stasiun televisi, dari monitor kulihat wajah Pak Utha yang rusak sebelah. Tangannya menggenggam sesuatu, seperti handphone yang gosong. Staf yang berada di sana tampak bekerja keras memberi efek blur untuk sekujur tubuh Pak Utha. Ia sadar, jika stasiun sebelah lebih cepat melakukannya, masa depan karirnya dipertanyakan.

"Bukan untuk anak kecil," seseorang bertato logo superman di punggung tangannya mengangkatku dan memindahkanku ke tempat semula.

Aku kembali ke dalam rumah dan kuputuskan untuk menonton acara talk show saja.

Seorang pesulap kenamaan berambut nyentrik duduk di sofa panjang yang tampak nyaman. Ia menanyai bintang tamunya yang tidak begitu terkenal, yang bukan seorang bintang. Entah mengapa semua tamu disebut bintang tamu, meski bukan bintang.

"Tadi ke sini naik apa?" tanya pesulap itu sekedar basa-basi.

Sang tamu malu-malu, tersenyum kecil, dan berkata pelan, "Dianter suami."

"CIEEEEEEEE!" sorak sorai penonton membanjiri studio.

Aku termenung. Sejenak aku menengadah ke atas. Aku memandangi langit-langit, membayangkan seekor cicak mengintai nyamuk yang sedang asyik dengan cahaya lampu LED. Betapa ganjilnya nasib nyamuk, mengapa makhluk terbang seperti itu bisa berakhir dikunyah binatang melata?

Televisi ruang tengah kembali mencuri konsentrasiku. Tamu si pesulap adalah seorang wanita berjilbab, ia mengenakan sweater rajut merah yang tertutupi efek blur di bagian dadanya. Aku langsung ingat staff stasiun televisi di depan rumah.

"Daripada di dalam dan nonton acara nggak bermutu macam itu, lebih baik kau bantu aku bawakan meja. Aku sudah siapkan minuman untuk dijual," Anya menghiburku, untuk kepentingan dirinya sendiri.

"Tunggu, apa kau percaya Pak Utha..."

"Ada yang bilang, mereka salah orang," potong Anya sambil menaruh minuman di atas meja yang kubawa.

"Apa maksudmu?"

"Tidak mungkin orang pincang macam Pak Utha bisa merampok laboratorium nuklir di Janewa beberapa waktu lalu."

"Bagian mana yang tidak mungkin? Merampok laboratorium nuklir, atau ke Janewa?

"Keduanya. Kau pikir saja."

Anya menuangkan sirup berlabel patung liberty ke dalam gelas kosong. Sejak 1969. Aku memandanginya saksama, kurasa itu merupakan agenda konspirasi sang pendiri sirup untuk menyisipkan pesan-pesan pro liberal ke negara non-blok pada masa itu, lewat botol sirup. Mungkin saat itu sirup sudah seperti candu bagi ibu-ibu yang kalap membelinya tiap kali pergi ke department store. Atau bisa saja botol sirup lah yang menjadi koleksi bapak-bapak di lemari kaca mereka, sebelum akik menggesernya dari daftar barang koleksi terfavorit. Amerika sungguh jenius.

"Ngomong-ngomong, kau pasti ingat si pincang Keyser Soze," ucap Anya membuyarkan pikiranku. "Apa menurutmu Pak Utha selama ini memang perampok?"

"Soze cuma khalayan, idiot. Pada akhirnya semua orang tahu Soze hanya pura-pura pincang."

"Bagaimana jika Pak Utha juga pura-pura pincang?"

"Maka dia bukan Keyser Soze," jawabku yakin. "Keyser Soze lebih pintar dari polisi."

"Kau terlalu banyak nonton propaganda Amerika."


***

Listening to : Sufjan Stevens - Fourth of July


Monday, July 25, 2016

Antrean Roti Brangelina






Sudah terlambat, wanita itu kini terlihat kesal. Ia mengangkat gelasnya dan menghentakannya beberapa kali ke atas meja. Semut-semut terlanjur menikmati teh manisnya. Saking nikmatnya, mereka tak bergeming diusik.

"Kau ini kenapa? Sudah bagus aku ajak ke sini, kerjaanmu cuma membuat gaduh saja!" Luki memarahi Hana tanpa meliriknya sedikitpun, tatapannya terpaku pada cahaya layar laptop yang lebih megah dari lampu kafe tempat mereka berada.

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Kau pun daritadi tak menghiraukanku," kekesalan Hana memuncak.

Luki menutup laptopnya sambil menghisap sebatang rokok yang tinggal sepertiga panjangnya. Ia tahu kekasihnya kesal. "Kau tahu hal apa yang paling menyenangkan dari rokok yang tinggal sedikit?"

"Yang kutahu, mereka suka sekali membunuhmu."

"Bicara soal membunuh, bagaimana perasaanmu jika ternyata orang tuamu selama ini adalah pembunuh bayaran? Sangat keren punya orang tua seperti Brad Pitt dan Angelina Jolie. Pasti anak mereka akan selalu pamer di sekolah."

"Bodoh, bahkan mereka tidak pernah benar-benar membuat anak!" Hana berargumen seperti tidak terima. "Hmm. Orang tuaku, entahlah, jika mereka membunuh orang, aku hanya berharap mereka dibayar layak untuk melakukannya," kata Hana dengan aksen Sunda khasnya. Aksen itu hanya terdengar setiap ia marah atau anehnya juga saat ia tertawa.

"Aksenmu ini lah yang membunuhku setiap hari," kata Luki sambil memasukkan leptop ke dalam tas Converse biru andalannya. Ia tak pernah sadar, dari semuanya, aksen Jawa miliknya lah yang paling Hana benci. 

Mereka berjalan keluar dari kafe, lalu berbelok menuju eskalator yang berada di ujung mall. Beberapa langkah sebelum eskalator, Hana terhenti. Ia tidak tahan mencium bau parfum toko roti yang terlalu pekat untuk dilewatkan. Hana menarik tangan Luki agar mau menemaninya mengantre untuk membeli roti yang bentuknya sangat biasa itu. Di depan mereka, berdiri seorang wanita berparas barat yang nampak tak sabar menanti untuk memesan. Ia ditemani oleh pria lokal yang tinggi badannya tidak sampai setengah tinggi pasangannya.

"Jika kau putus denganku nanti, carilah orang yang lebih tinggi darimu," Luki berbisik pada Hana. Ia mencondongkan badannya ke depan, sedikit memajukan tangannya, lalu perlahan mengangkatnya ke atas hingga setinggi dagu sambil terkekeh kecil.

Hana pura-pura tidak melihat. Ia sadar, wanita barat itu tahu Luki sedang meledek suaminya.

"Kupikir kau terlalu serius dengan semua leluconku hari ini, Han. Ada apa denganmu?" Luki menundukkan kepalanya, mencegah dirinya sendiri untuk mengeluarkan tawa sekecil apapun.

"Bukan begitu, bule itu menatapmu terus. Jika ia punya kesempatan, aku yakin wanita itu akan pulang ke negaranya dan membawa armadanya untuk kembali menjajah kita tiga ratus lima puluh tahun lagi hanya untuk menyiksamu," bisik Hana. Sambil memalingkan wajahnya, dua bola matanya berpindah-pindah dari kiri ke kanan dalam kecepatan dua geseran per detik. Tangan kanannya menggenggam tangan Luki, sedangkan tangan kirinya berusaha menutupi komat-kamit bibirnya dari si bule.

"Kenapa harus tiga harus lima puluh tahun? Rokokku sudah pasti akan membunuhku entah dua puluh atau tiga puluh tahun lagi."

"Kau memang tak pernah mengerti," kata Hana pelan. Dua bola matanya masih siaga mengawasi pasangan di depannya yang bersiap meninggalkan antrean.

"Memang aku tak sia-sia hidup bersamamu," jawab Luki lega. Sisa-sisa tawa yang ia tahan pun keluar malu-malu.

"Seharusnya aku mulai menanyakan berapa tarif orang tuaku."

***
Listening to : Radiohead - Life In a Glasshouse