Monday, September 10, 2012

Curhat? Bukan..

Teringat sebuah kalimat terkenal yang diucapkan Nietzsche, “He who has any why to live can bear almost any how”. Sebuah kalimat yang hampir mustahil diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk memperoleh arti yang sama. Kalimat pendek yang sarat makna. Dalam bahasa saya, saya menyimpulkan artinya begini, “Ketika kita mempunyai segala alasan untuk hidup, kita dipastikan dapat menanggung hampir semua kesulitan dalam hidup kita”. Tapi coba kita negasi-kan kalimat Nietzsche tersebut, bagaimana jika kita tidak punya alasan untuk hidup? Apakah dengan ketiadaan alasan kita untuk hidup artinya kita sulit menanggung hampir semua kesulitan dalam hidup?

Menurut pemahaman saya, jika kita tidak mempunyai satu alasanpun untuk hidup, hidup menjadi hambar dengan tidak adanya rintangan berarti bagi kita. Apakah dengan demikian, hidup menjadi lebih mudah? Tanpa adanya masalah yang memberatkan kita, tanpa adanya tekanan batin yang menyiksa, tanpa adanya motivasi hidup, hanya menjalani hidup monoton yang itu-itu saja tanpa improvisasi dan inovasi yang disebabkan karena tidak adanya alasan untuk hidup tadi…

Jika kita merancu pada kalimat bijak lain, “There are five things that you cannot recover in life. The Stone...after it's thrown. The Word...after it's said. The Occasion...after it's missed. The Time...after it's gone. A person...after they die”, dan jika 5 hal di atas adalah sebuah kesalahan yang pernah kita lakukan, bagi mereka yang tidak mempunyai alasan untuk hidup, apakah “kesalahan” tidak berarti apa-apa sama sekali?

Saya pernah mengalami saat-saat dimana saya merasa tidak mempunyai alasan untuk hidup. Saya membuktikan sendiri bahwa hidup memang terasa hambar dan monoton. Namun, di suatu saat setelah itu saya seperti mendapat pencerahan, saya akhirnya memahami bahwa hidup merupakan serangkaian penyesalan terhadap hal-hal yang saya lakukan di masa lampau, dimana hal yang menarik dari sebuah kehidupan itu sendiri adalah sebuah tantangan “Bagaimana merangkai penyesalan-penyesalan tersebut menjadi pengalaman yang fungsional sebagai modal mempersiapkan diri menatap hari esok”.

Disinilah mencoba membuktikan kata-kata Nietzsche, saya menjadikan “Merangkai segala pengalaman buruk menjadi modal untuk mempersiapkan sesuatu yang lebih baik di masa depan”, sebagai alasan saya untuk tetap hidup. Tidak akan ada habisnya bukan jika kita selalu membahas sesuatu yang buruk di masa lalu? Apalah arti masa lalu jika kita mempunyai  kemauan untuk menggunakannya untuk sesuatu yang lebih baik di masa depan?

Karena adanya pemikiran semacam itulah, tercipta frasa “Move on”, frasa sederhana namun sakti mandraguna, mudah diucapkan namun sangat sulit untuk dilakukan. Kecenderungan manusia untuk terus menengok ke belakang adalah sebuah batu besar yang sangat sulit dipindahkan. Tidak cukup hanya dengan sebuah alasan hidup untuk dapat memindahkan batu besar tersebut. Simaklah kembali kata-kata Nietzsche, terdapat frasa “can bear ALMOST any how”, dan bukan ditulis “can bear any how”.

Dan bagi saya, hal yang saya wujudkan sebagai batu besar tadi masih terlalu besar untuk dipindahkan oleh alasan saya untuk hidup tadi. Apakah Nietzsche mengalami hal seperti saya ketika menulis kata “almost” di kalimat tersebut? Apakah Nietzsche juga seseorang yang gagal move on? Who knows..

Listening to : Slank - Maafkan